Garut News ( Jum’at, 20/06 – 2014 ).

Berkali-kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji, Istana akan bersikap netral dalam pemilihan presiden.
Kini sikap Presiden dipertanyakan lagi setelah orang Istana hampir dapat dipastikan terlibat dalam penerbitan tabloid Obor Rakyat.
Presiden semestinya menindak tegas stafnya yang melakukan perbuatan tercela itu.
Obor Rakyat, selebaran berformat tabloid isinya mendiskreditkan Joko Widodo alias Jokowi, bersaing dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden.
Terbit tanpa mengindahkan Undang-Undang tentang Pers dan mengabaikan kode etik, tabloid Obor dinilai Dewan Pers bukan merupakan produk jurnalistik.
Tabloid ini dikirim gratis ke pesantren-pesantren di Pulau Jawa.
Pemimpin redaksinya Setyardi, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai sejak 25 Februari 2010.
Menteri-Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan, untuk memberikan sanksi administratif pada orang Istana itu, pihaknya masih menunggu proses hukum di kepolisian.
Pernyataan Dipo malahan menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan kalangan Istana memang terlibat terselubung dalam kampanye kotor itu.
Obor Rakyat memang dilaporkan tim hukum Jokowi-Jusuf Kalla ke polisi.
Namun, jika menunggu proses hukum, terlalu lama.
Sedangkan pemilihan di ambang pintu.
Keengganan segera memberikan sanksi lantaran menunggu langkah kepolisian juga tak memiliki dasar hukum.
Sebab, sanksi administratif beda dengan sanksi pidana.
Asisten staf presiden bukan termasuk pejabat tinggi atawa pejabat negara, hanya bisa dinonaktifkan setelah resmi menjadi terdakwa.
Dipo semestinya menelaah secara teliti isi Obor Rakyat sebelum memberikan pernyataan janggal.
Melalui pemeriksaan tersebut, Istana bisa mengukur sejauh mana bahaya bisa dipicu tabloid terbit dua kali itu.
Soalnya, tak hanya melanggar hak-hak pribadi, tabloid tersebut juga berbahaya bagi demokrasi.
Tabloid ini juga bisa dianggap menyebarkan kebencian dan mengaduk-aduk hal berbau suku, agama, ras, dan antargolongan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menyadari posisinya penyelenggara pemilu.
Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu bersih, jujur, dan adil.
Memihak salah satu calon presiden, apalagi menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara, jelas bukan sikap bijak.
Benar, Yudhoyono juga Ketua Umum Partai Demokrat yang berhak bermanuver politik, bahkan memihak salah satu calon presiden.
Tapi keliru bila pemihakan itu dilakukan secara terselubung dalam posisinya sebagai presiden dan melibatkan kalangan staf presiden.
Hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara pemilu.
Pada akhir masa jabatannya, Yudhoyono seharusnya menjaga kewibawaan Istana.
Aneh bila ia membiarkan kalangan Istana menerbitkan tabloid Obor.
*******
Opini/Tempo.co