Garut News ( Ahad, 12/05 – 2019 ).

Pada Shaum Ramadlan 1440 H/2019 ini, penduduk seputar perkotaan bisa ‘ngabuburit’ maupun jalan – jalan sore menjelang tibanya waktu berbuka puasa sambil mengendarai ‘delman domba’ (deldom) di Alun – Alun Garut, Jawa Barat.
Dengan hanya membayar Rp10 ribu hingga Rp20 ribu, pengunjung terutama anak-anak dapat berkeliling Alun Alun dengan moda angkutan delman berukuran minimalis yang dihela atau ditarik Domba Garut.

Sedangkan pihak pengelola deldom pun, termasuk Siti mengaku setiap harinya bisa mengantongi pendapatan berkisar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu, katanya kepada Garut News, Sabtu (11/05 – 2019 ).
Meski menurutnya persaingan usaha ini pun kini cukup ketat, lantaran terdapat beberapa pengelola sejumlah deldom lainnya.
“Pernah Dilarang Beroperasi”
Pada sekitar lima tahun lalu, para pengelola deldom mengeluh berat, lantaran terdapatnya pelarangan beroperasi di Alun-Alun Garut, mereka terancam kehilangan mata pencaharian pada waktu itu.
Sehingga sempat menjadi kelimpungan mencari tempat lain sebagai alternatifnya. Menyusul setelah beberapa tahun dibiarkan biasa beroperasi seputar Lapang Alun alun tersebut.
Sebab selama ini Alun-alun merupakan lokasi ramai dikunjungi beragam kalangan masyarakat berjalan-jalan refreshing bersama anggota keluarga, terutama pada sore hari. Keramaian memuncak pada libur akhir pekan, dan hari liburan lainnya.
“Harus di mana lagi kalau di Alun-alun enggak boleh? Bagaimana dengan kebutuhan hidup kami sehari-hari?” kata Siti(40), pengelola deldom asal Desa Jayaraga Kecamatan Tarogong Kidul, Ahad (28/09-2014) silam.
Demikian pula dirasakan para pengelola mainan anak-anak lainnya, yang biasa mangkal dan beroperasi di Alun-alun.
Menariknya, pelarangan deldom bukan diterbitkan Pemkab Garut melainkan inisiasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut. Lantaran, keberadaan deldom dinilai mengotori Alun-alun.
Kotoran domba tercecer kerap terbawa alas kaki warga hendak beribadah shalat di Masjid Agung berpelataran berada persis menghadap Alun-alun.
Kasatpol PP kabupaten setempat Suherman ketika itu katakan, deldom dilarang sebab menyangkut kesucian saat masyarakat menunaikan shalat.
Menurut dia, selama ini kotoran domba berceceran di tengah lapang alun-alun terbawa alas kaki hingga ke pelataran mesjid.
“Ini menjadikan MUI mengirimi kami surat agar Alun-alun steril dari aktivitas permainan, terutama deldom. Maka gerbang masuk Alun-alun juga kita tutup,” imbuhnya.
Dikemukakan, pihaknya berupaya memfasilitasi pemindahan deldom dari Alun-alun ke Lapang Olahraga Terbuka Merdeka Kherkoff di Desa Haurpanggung Tarogong Kidul.
Meski disadarinya belum terdapat koordinasi dengan pihak pengelola lapang tentang kesediaannya menampung deldom tersebut.
“Kalau dipindahkan ke Situ Bagendit, terlalu jauh,” kata Suherman.
Ketua MUI Garut yang waktu itu dijabat Agus Muhammad Soleh membenarkan pihaknya berkeberatan Alun-alun dijadikan tempat beroperasinya arena mainan anak-anak, terutama deldom, lantaran bisa mengganggu kekhusyukan umat Islam beribadah di Masjid Agung.
“Kotoran dombanya bisa menyebar, bahkan bisa terinjak kaki mereka hendak menuju masjid. Itu kan najis,” tandas Agus.
Selain itu, Agus menyatakan secara pribadi tak menyetujui apabila hewan jenis domba dijadikan penarik delman, meskipun delmannya berukuran minimalis, dan hanya menarik muatan anak-anak.
Terhadap keberatan pihak MUI ini, para pengelola deldom berdalih selalu membersihkan kotoran domba tercecer sebelum pulang meninggalkan Alun-alun.
Mereka bersama para pengelola mainan anak-anak lain juga selalu membayar jasa petugas kebersihan.
“Kita ingin aturannya jelas. Apa dombanya harus pakai celana supaya kotorannya enggak berceceran di lapang, atau bagaimana? Lagi pula, dombanya kan tak langsung dibebani delman, tapi dipasok dengan kayu beroda di bagian depannya,” kilah para pengelola deldom, beralibi pada waktu itu sekitar lima tahun lalu.
*******
Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat.