Purnawan Andra, anggota staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud
Garut News ( Jum’at, 28/11 – 2014 ).

Hidup manusia Indonesia penuh dengan upacara. Seluruh tahapan kehidupan, dari kelahiran, perkawinan, hingga kematian, ditandai dengan upacara.
Hal ini terjadi karena masyarakat diikat oleh norma-norma hidup berdasarkan sejarah, tradisi, maupun agama.
Karena itu, upacara menjadi penanda, tidak hanya dalam rangka perayaan diri dan kelompok/komunal, tapi juga merupakan penghargaan terhadap alam sekitar dan lingkungannya.
Upacara hadir dalam konteks kultural dan spiritual.
Dalam perkembangannya, upacara hadir dengan modifikasi dan kontekstualisasi pada setiap zaman. Upacara dihadirkan untuk mengagungkan perayaan simbol-simbol dengan efek legitimasi dan relasi antar-elemen, baik dalam konteks sosial kemasyarakatan, seni-budaya, hingga politik pemerintahan (Munawir Aziz, 2009).
Upacara memperingati hari-hari tertentu yang ditetapkan pemerintah menjadi hari-hari politis tahunan, suatu kewajiban di seluruh gedung perkantoran publik, lengkap dengan pegawai negerinya.
Dengan cara ini, semua partisipan merupakan anggota-anggota dari kongregasi nasional yang berkumpul di berbagai tempat di seluruh negeri pada saat yang sama untuk melaksanakan tugas yang sama.
Slogan-slogan diciptakan dalam rangkaian peringatan hari-hari khusus. Hari Pahlawan misalnya. Konsep ini ditambah dengan ritual apel kehormatan dan ziarah ke Taman Makam Pahlawan, lengkap dengan pidato-pidato mengenai heroisme dan patriotisme.
Sejarah Hari Pahlawan dipaparkan plus cerita jasa dan pengorbanan mereka yang telah gugur, sembari mengajak seluruh rakyat untuk mengikuti teladan para pahlawan yang telah mengabdikan diri bagi kepentingan rakyat.
Semua berlangsung dalam kontinuitas isi dan ide.
Seturut dengan Bandung Mawardi (2013), penghormatan atas pahlawan dimaknai dengan lencana dan nisan, juga dengan nada dan kata.
Lagu-lagu semacam Gugur Bunga, Hari Pahlawan, dan Mengheningkan Cipta digubah dan diperdengarkan ke publik sebagai rujukan dalam mengenang tokoh dan peristiwa-peristiwa bersejarah.
Lebih lanjut, Schreiner (dalam Nordholt, 2005) mensinyalir bahwa ritual-ritual upacara lainnya, seperti mengheningkan cipta, pembacaan Pancasila dam Pembukaan UUD 1945, menggarisbawahi karakter liturgis kesempatan berkumpul seperti ini.
Begitu juga ritual ziarah, dari bahasa Arab yang berarti “kunjungan ke tempat suci”, mengilustrasikan “agama sipil” negara.
Pada masa Orde Baru, ritual-ritual yang melibatkan partisipasi massa, seperti hari-hari peringatan yang ditetapkan lengkap dengan agenda acaranya itu, tidak dimaksudkan untuk merayakan bangsa ini, tapi cenderung untuk menegaskan status quo penguasa.
Pertemuan massa dengan partisipasi yang tinggi tersebut diubah menjadi ritual-ritual negara yang sangat formal dengan kehadiran-kehadiran wajib yang memperkuat kontrol negara.
Upacara menjadi kode-kode interaktif yang dapat dimaknai dan dibaca sebagai simbol artikulatif tentang pemikiran, propaganda, hingga agitasi.
Melalui upacara, kekuasaan dijalankan sedemikian rupa dan dipusatkan dalam ruang politis yang seremonial.
Padahal inti kekuasaan berarti menjamin kepastian hukum, kesejahteraan, dan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya.
Hal itu lebih penting daripada menjadikan Indonesia sebagai “negara teater” dengan “drama-drama” yang dicitrakan. *
*******
Kolom/artikel : Tempo.co