Husein Ja’far Al Hadar, Peminat Filsafat
Jakarta, Garut News ( Senin, 09/12 ).

Wafatnya Mandela bukan hanya duka bagi Afrika Selatan, tapi juga dunia.
Selain nasionalismenya mustahil diragukan, Mandela memang tak pernah terjebak atau menjebak hidupnya dalam sekat, termasuk sekat kebangsaan.
Ia hidup untuk kebersamaan di tengah keragaman, di atas nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkannya: kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan.
Karena itu, misalnya, ia pernah berkata bahwa kemerdekaan negaranya tak pernah lengkap tanpa kemerdekaan bangsa Palestina.
Sebab, seperti Afrika Selatan dulu, ia melihat Israel sedang bergerak ke arah sebuah bangunan keji: etnokrasi.
Karena itu, ia terus menghayati dirinya sebagai pejuang, meski ia bersama kaumnya telah merdeka.
Dalam konteks nasionalisme, prinsip Mandela bukan berorientasi pada penafian atas yang lain seperti visi nasionalisme ala Marcus Garvey dengan slogannya, “Afrika untuk bangsa Afrika”, dengan teriakan “Lemparkan orang kulit putih ke laut”, yang cenderung bersifat ekstrem dan ultra-revolusioner.
Namun visi aliran nasionalisme ala Mandela (Afrikanisme yang dianut Liga Pemuda Kongres) adalah kebersamaan dengan yang lain dalam kesetaraan, perdamaian, kerukunan dan kehangatan di tengah keragaman ras serta perbedaan lainnya.
Mengutip apa yang ditulis Nehru dalam makalahnya yang berjudul “From Lucknow to Tripoli”, yang kemudian dicetak dalam buku The Unity of India, Mandela mengatakan sangat menyadari bahwa jalan menuju kemerdekaan tak pernah mudah.
Seperti juga dikumandangkannya kemerdekaan beberapa saat setelah ia bebas dari penjara di Cape Town (1990): “Aku bukan malaikat. Tapi aku adalah pemimpin yang datang saat kondisi memburuk.”
Sehingga, seperti Gandhi, ia kemudian justru hadir, bangkit, dan menjadi pemenang karena tekanan dan penindasan yang dirasakannya.
Ia seperti sebuah bola yang ditekan ke dalam air, yang makin ditekan justru makin berhasrat serta bertenaga untuk bangkit dan merdeka.
Dipenjara selama 27 tahun (1964-1990), Mandela sebenarnya menerima tawaran berkali-kali untuk dibebaskan dari hukuman seumur hidupnya.
Namun ia justru menolaknya.
Mandela lebih memilih penjara jika kebebasan itu berarti dia harus menghentikan perjuangannya.
Melalui sikapnya tersebut, ia sedang memperlihatkan ontologi kebebasan yang otentik, seperti dikatakannya, “Andai tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, sejatinya aku akan tetap di penjara”.
Seperti pada lakon Socrates dan Al-Hallaj, yang bisa saja kabur dari penjara dan tiang gantungan, tapi tak melakukannya. Ia memilih menghentikan napasnya daripada menghentikan perjuangan (spiritualitas) yang dijalaninya.
Dan, tentu saja, semua itu bukan bentuk kematian konyol, melainkan kematian mulia dan agung (syahid). Sebuah capaian ontologis tertinggi ketika kematian ditaklukkannya melalui posisi sebagai subyek, bukan justru kematian yang menaklukkannya dengan berposisi sebagai obyek.
Akhirnya, walau Mandela telah wafat, seperti dikatakannya dalam wawancara saat pembuatan film dokumenternya (1994), “Aku yakin segala perjuanganku akan terus berlanjut, meski suatu saat aku akan tidur terlelap dalam keabadian.”
**** Kolom/artikel Tempo.co