Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc
Garut News ( Sabtu, 11/07 – 2015 ).
Minggu lalu saya menjadi pengisi acara buka puasa bersama. Acara itu diadakan oleh sebuah perusahaan swasta di hotel berbintang yang terletak di jalan protokol.
Saya sudah memperhitungkan waktu tempuh ke lokasi dan antisipasi kemacetan yang akan saya hadapi dengan sebaik-baiknya.
Perencanaan yang sudah sangat rapi jadi berantakan, karena saya malah terjebak kemacetan di sebuah perempatan jalan yang berada di luar dugaan saya.
Manajer saya berulang kali menelepon menanyakan posisi saya, karena pihak penyelenggara juga berulang kali menelepon dia. Manajer saya menyarankan agar saya naik ojek. Saya mengabaikan saran tersebut karena tidak mungkin saya lakukan.
Saya menyetir sendiri, sedangkan posisi mobil berada di tengah kepadatan kendaraan lain. Solusi yang paling memungkinkan adalah saya bertukar posisi dengan tukang ojek. Saya bawa motor tukang ojek dan tukang ojek bawa mobil saya. He-he-he.
Di antara kita pasti pernah mengalami hal seperti yang saya alami. Berhadapan dengan kemacetan. Solusi yang selalu ditawarkan adalah naik ojek. Hal ini membuat saya menyimpulkan, semakin banyak orang naik ojek berarti jalan semakin macet, atau semakin macet jalan maka ojek semakin laris.
Ojek sudah ada sejak dulu. Awalnya ojek melayani rute pendek, seperti dari depan kompleks perumahan menuju rumah dan dari pasar menuju rumah. Sekarang ojek berkembang melayani rute panjang untuk menyiasati kemacetan.
Ojek termasuk kendaraan yang penuh dengan keakraban. Hanya dengan naik ojek, penumpang bisa duduk nempel dengan abangnya. Sedangkan kendaraan yang jauh dari keakraban adalah bajaj, karena hingga sekarang bajaj tidak mengizinkan penumpang duduk di depan di samping abangnya.
Kebutuhan terhadap ojek yang begitu besar dilihat sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Kemudian hadir perusahaan jasa transportasi alternatif khusus ojek. Langkah inovatif dilakukan oleh pengelolanya. Ojek tidak sekadar mengantarkan ke tujuan, tapi tukang ojeknya pun bisa melakukan beberapa hal.
Seperti membeli nasi Padang, membeli tiket bioskop, bahkan diminta untuk membeli lipstik. Semoga saja tukang ojeknya tidak diminta nyobain dulu untuk mengetahui warna lipstiknya cocok atau tidak.
Salah satu lokasi syuting film Fast and Furious 7 adalah Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Film ini tak mungkin syuting di Jakarta. Daya tarik film ini adalah kejar-kejaran mobil.
Jika syuting di Jakarta, saat terjadi kejar-kejaran mobil antara Vin Diesel dan Jason Statham di jalanan Jakarta, lalu mereka terjebak macet, adegan selanjutnya mereka sama-sama keluar mobil dan memilih melanjutkan naik ojek.
Dengan semakin larisnya ojek dari hari ke hari menunjukkan bahwa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat tak hanya angkutan umum yang nyaman, tapi juga cepat. Ojek menjadi pilihan karena dianggap bisa memberikan kepastian untuk bisa sampai di tujuan dengan cepat.
Maka tak mengherankan bila sekarang ongkos ojek pun relatif mahal.
Bahkan untuk menempuh jarak tertentu, tarifnya hampir sama dengan taksi. Alasan ojek berani pasang tarif sama dengan taksi adalah karena ojek memiliki keunggulan dibanding taksi.
Taksi hanya bisa nyalip, sedangkan ojek bisa nyalip dan nyelip.
********
Kolom/Artikel Tempo.co