Munir, HAM, dan Islamnya

0
96 views
Ilustrasi Membangun Masjid.

Husein Ja’far Al Hadar
Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Rabu, 07/09 – 2016 ).

Ilustrasi Membangun Masjid.
Ilustrasi Membangun Masjid.

Sudah 12 tahun, tepatnya sejak 7 September 2004, Munir menjadi syahid. Bangsa ini mengenalnya sebagai pejuang hak-hak asasi manusia yang gigih. Tulisan ini hendak mengupas aspek yang diakuinya dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla yang disiarkan Kantor Berita Radio 68H pada 1 Agustus 2002 sebagai dasar sekaligus energinya dalam membangun konsep dan perjuangan HAM-nya, yakni pandangan keislamannya.

Dan, tampaknya memang basis keislamannya itulah yang menguatkan pandangannya mengenai HAM.

Sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid, yang biasa disapa Cak Nur, dalam HAM dan Pluralisme Agama (1997), penegakan HAM membutuhkan komitmen tulus yang berakar pada kesadaran akan makna kehidupan yang berbasis pada agama agar komitmen dan nilai-nilainya tak dangkal dan hambar.

Bahkan, Amerika Serikat sekalipun, yang dibangun sebagai negara sekular demokratis, tetaplah berlandaskan nilai etika dan moral kekristenan dalam perkara HAM, khususnya kalangan Protestan Putih Bangsa Anglo-Sakson (White Anglo-Saxon Protestant/WASP).

Keberpihakan Munir pada HAM sebenarnya tak linier. Ia lahir dalam lingkungan keluarga yang taat terhadap ritual beragama. Namun, belakangan, ia menilai keberislaman yang taat ritual saja tidaklah cukup. Menurut dia, sebagaimana dikutipnya dari Cak Nur, kesalehan religius harus beriringan dengan kesalehan sosial.

Bagi dia, ritual-ritual itu menjadi sebuah deklarasi yang tak bermakna jika tak diterapkan di tingkat sosial-kemanusiaan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa menghadapkan wajah kepada Tuhan sehari lima kali dalam salat, jika ia membiarkan ketidakadilan atau, apalagi, menjadi aktor kezaliman.

Munir muda bahkan merupakan seorang muslim ekstrem. Itu diakuinya terjadi dalam kurun 1984-1989, saat ia masih mahasiswa. Beruntung, ekstremismenya lebih disebabkan oleh kedangkalan pemahaman keislamannya. Berbeda dengan ekstremisme yang, menurut dia, tak murni, yang timbul karena nafsu berkuasa dan agenda politis, sebagaimana kian memuncak di Timur Tengah dan telah masuk ke Indonesia.

Karena itu, tak sulit bagi Munir untuk kemudian berhijrah menjadi muslim moderat. Bahkan, diakuinya, hijrah itu begitu sederhana, lantaran dientak oleh diskusinya dengan Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan Nasional, yang menggugahnya untuk berpikir ulang tentang misi Islam: untuk kekuasaan ataukah pengabdian kepada sesama?

Malik Fadjar pula yang meminta Munir membaca ulang dan merenungkan tulisan-tulisan Cak Nur tentang Islam dan HAM, khususnya Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), yang belakangan tampak sangat mempengaruhi pandangan HAM Munir.

Cak Nur memang menggarisbawahi bahwa problem utama dan mendasar soal HAM adalah kekuasaan: baik kekuasaan politik yang tiranik, kekuasaan agama yang memonopoli kebenaran, ataupun kekuasaan lainnya.

Munir melampaui pandangan yang sempat berkembang pada zamannya bahwa HAM adalah konsep Barat untuk mensubversi kita, umat Islam. Munir sepakat dengan Cak Nur bahwa justru HAM adalah isu baru yang secara historis bahkan, sebagaimana diungkapkan dalam Renaissance Philosophy of Man oleh Giovani Pico della Mirandola, dimulai di Barat karena perkenalan masyarakatnya dengan Islam, khususnya orang-orang Sarasan (Arab muslim).

Meskipun kemudian hal itu ditolak oleh kalangan Gereja karena dinilai bertentangan dengan Bibel, dan Pico akhirnya dihukum Gereja. Sementara di Barat para pejuang HAM cenderung sekular, yang berpuncak dalam Religion without Revelation karya Julian Huxley, Munir justru berdiri sebagai penegak HAM yang religius.

Dalam pandangan keislamannya itu, Munir juga menentang keberislaman yang cenderung menonjolkan atribut simbolik. Bagi dia, atribut-atribut itu adalah produk budaya (Arab). Keberislaman semacam itu justru membuat Islam berjarak dengan konteks (Indonesia) yang lain, dan bahkan dengan Islam dan umatnya sendiri.

“Jangankan mereka yang non-muslim. Saya saja yang muslim merasa minoritas kalau berhadapan dengan orang yang berjenggot panjang dan berkening hitam,” katanya dalam wawancara dengan Ulil. Malah, bagi dia, tak jarang atribut itu dijadikan legitimasi bagi mereka yang kuat atau berkuasa untuk melegalkan penindasan, pencerabutan hak, dan ketidakadilan.

Pemahaman keislaman Munir ini sebenarnya selaras dengan tesis Ali Syariati, sosiolog asal Iran, tentang Islam sebagai pembela yang tertindas (musthadafin). Munir bahkan meyakini itu sebagai misi utama Islam bagi umat manusia. Sebab, penindasan adalah fenomena yang mustahil absen dalam kehidupan dan Islam hadir dengan memberikan energi perlawanan sekaligus landasan bagi upaya itu.

Karena itu, sebagaimana disampaikan Munir, memperjuangkan HAM adalah bagian dari agama atau bahkan sebenar-benarnya jihad dalam arti “perang” yang sesuai dan dibutuhkan zamannya serta zaman kita saat ini: memerangi penindasan, ketidakadilan, dan lain-lain secara konstitusional-hukum.

Munir juga menggarisbawahi bahwa keadilan harus bersifat inklusif-universal: bukan hanya untuk kaum muslim, melainkan siapa saja. Tak perlu pula harus beriringan dengan agenda islamisasi, karena yang utama adalah membuat rahmat (kesempurnaan) Islam dirasakan semesta, bukan membuat Islam dianut semesta.

Akhirnya, bagi Munir, Islam adalah keadilan. Dan, memang, bahkan dalam pandangan sebagian ulama dan mazhab Islam, keadilan diletakkan dalam ushuludin (dasar agama). Bagi dia, kemenangan sejati Islam bukanlah saat masjid sesak oleh jemaah salat, tapi saat keadilan tegak di mana Islam ada.

Maka, tepat jika di tengah dan akhir lagu untuk Munir, Pulanglah, dari Iwan Fals, diselipi petikan azan: hayya ‘ala al-falah (mari menuju kemenangan). Munir adalah suara keadilan dan itulah sebenar-benarnya suara azan, suara Islam.

********

Opini Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here