Garut News ( Sabtu, 06/09 – 2014 ).

Sudah tepat langkah Jero Wacik mundur dari jabatan menteri. Inilah pertanggungjawaban yang harus ia lakukan sebagai pejabat publik setelah menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seharusnya pula Jero mundur dari posisinya sebagai Sekretaris Majelis Tinggi dan kader Partai Demokrat.
Dengan mundur sebagai kader partai, dia tak berhak lagi menjadi anggota DPR.
Cukup kuat alasan agar Jero mundur sebagai kader partai. Dia adalah petinggi dan kader Demokrat yang wajib dan telah menandatangani Pakta Integritas.
Pakta ini berisi janji untuk tidak melanggar hukum, juga janji untuk mundur sebagai kader jika berstatus tersangka.
Artinya, jika dia mundur sebagai kader Demokrat, otomatis gugur pula posisinya sebagai anggota DPR.
Jero terpilih sebagai legislator untuk daerah pemilihan Bali dalam pemilihan umum legislatif pada April lalu.
Sedianya, dia dilantik sebagai anggota DPR pada 1 Oktober 2014 mendatang. Statusnya sebagai tersangka semestinya menggugurkan posisinya sebagai legislator, digantikan oleh kader Demokrat lain.
Sayangnya, ketentuan undang-undang tidak tegas menyebutkan hal itu. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Pasal 220 menyebutkan pergantian calon terpilih dapat dilakukan jika yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR, atau terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
Tidak tegas disebutkan dia harus diganti bila menjadi tersangka kasus korupsi.
Itu sebabnya, jalan termudah agar Jero batal menjadi anggota DPR hanyalah bila dia bukan lagi kader Demokrat.
Dengan cara ini, komplikasi hukum mengenai posisinya sebagai anggota Dewan terhindarkan.
Apalagi undang-undang yang baru disahkan, yaitu “UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD” (UU MD3), menyebutkan anggota Dewan yang terlibat kasus korupsi hanya bisa diberhentikan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika mengikuti undang-undang ini, Jero bisa saja tetap sebagai anggota Dewan sampai kasusnya berkekuatan hukum tetap berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, setelah dia menjadi tersangka.
Celah hukum seperti itulah yang dulu dimanfaatkan Angelina Sondakh, juga anggota Dewan kader Demokrat.
Dia tetap menjadi anggota Dewan walau telah diadili karena kasus suap sejak September 2012. Ini terjadi karena, meski Angelina telah diberhentikan sebagai pengurus partai, posisinya sebagai kader partai tidak berubah.
Artinya, dia masih berhak menjadi anggota DPR. Akibatnya, status yang ia sandang di Dewan, sesuai dengan ketentuan, hanya “pemberhentian sementara” dengan konsekuensi tetap menerima gaji pokok Rp 15,9 juta per bulan.
Dia baru resmi bukan anggota DPR hampir dua tahun sejak ditetapkan sebagai tersangka.
Kejadian seperti itu tak boleh terulang. Jero bisa meniru langkah Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang menjabat di Komisi I DPR. Luthfi, yang ditahan dan jadi tersangka kasus suap impor daging pada Januari 2013, segera mengirim surat pengunduran diri sebagai anggota DPR.
Langkah seperti itulah yang seharusnya dilakukan Jero.
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co