Hikmah
26 Apr 2022, 03:45 WIB

“Bagi yang melaksanakan shaum, perjumpaan dengan Tuhan adalah sesuatu yang membahagiakan”
OLEH Dr IU RUSLIANA
Manusia itu hakikatnya sedang singgah di dunia dan akan kembali ke akhirat sebagai tujuan utama. Hanya saja, perantau itu kerap lupa dan merasa tak akan kembali ke alam baka. Semuanya bermula dari Allah Yang Maha Pencipta dan akan kembali kepada-Nya.
Bagi yang melaksanakan shaum, perjumpaan dengan Tuhan adalah sesuatu yang membahagiakan. Mudik sejati yang benar-benar sangat diinginkan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Allah Azza wa Jalla berfirman, semua amal untuk Adam itu untuk dia sendiri, kecuali shaum karena shaum itu untuk-Ku, dan Akulah yang membalasnya. Shaum itu benteng (pelindung dari siksa neraka).
Oleh karena itu, apabila kamu sedang shaum, jangan bersetubuh dan jangan pula berbuat gaduh. Apabila seseorang memakimu atau mengajak bertengkar dengan kamu, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini sedang shaum.’
Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan (kekuasaan)-Nya, bau mulut seorang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat nanti daripada harum kasturi. Selain itu, orang yang shaum mendapatkan dua kali kegembiraan, yaitu apabila saat berbuka, dia bergembira dengan buka shaumnya, dan apabila kelak bertemu Tuhannya, dia bergembira dengan shaumnya” (HR Muslim).
Sebagai persiapan, mari belajar untuk mudik lahir batin. Tidak hanya fisik, mudik yang tujuannya untuk bersilaturahim hendaknya melibatkan hati dan pikiran. Silaturahim hati itu ditujukan ke dalam diri dan sesama.
Ke dalam hati sendiri yang kerap menjauh dari Ilahi. Setelah menjauh, hendaknya mendekati, karena Dia sedekat urat nadi. Caranya dengan taat menunaikan ibadah shaum dan semua kewajiban-Nya.
Memudikkan hati artinya membiarkan seperti pada awal mula diciptakan, suci dari segala kebencian. Bermakna meluaskan pintu memaafkan. Tak ada ruang dendam dan kemarahan, yang ada kecintaan.
Selalu ingin berbagi, padahal boleh jadi sedang berat kondisi ekonomi. Hati yang selalu terikat tanpa lepas sedetik pun kepada Yang Maharahman. Sigap memberikan bantuan meringankan beban.
Bukan hanya hati, pikiran pun perlu mudik. Setelah jemawa dan keliaran pikiran dipertontonkan. Merasa benar sendiri, mencari-cari alasan pembenaran menjadi cara penalaran.
Saat logika dipergunakan untuk melemahkan kebenaran dan kebaikan. Pikiran menjadi tempat mengatur tipu muslihat menjadikan masyarakat dirugikan dan disesatkan.
Mereka yang selalu rajin melakukan silaturahim pikiran pasti aktif melakukan dialog terbuka dan mendapatkan pencerahan. Menerima petunjuk mana yang benar dan salah serta selalu dibimbing oleh-Nya mendapatkan kebahagian. Wallaahu a’lam.

Lima Jenis Kebahagian Umat Manusia yang Diungkap Imam Al Ghazali
Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah.
“Kebahagiaan bisa rusak dengan amarah dan syahwat yang berlebihan”
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setiap orang berbeda-beda dalam memaknai kebahagiaan dunia. Misalnya saja orang sakit memandang kebahagiaan itu bila sehat, orang yang lapar memandang kebahagiaan bila mendapat makanan.
Sebab itu menurut pakar tafsir Alquran yang juga pengasuh Pondok Pesantren Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran, Ustadz Syahrullah Iskandar, kebahagiaan bersifat subyektif tergantung dari sudut pandang dan kebutuhan yang dikehendaki seseorang.
Sedang kebahagiaan (sa’adah) yang hakiki akan ditemukan seorang hamba di akhirat. Kebahagiaan hakiki adalah kesenangan yang tiada akhir. Sedang kebahagiaan dunia semuanya berbatas.
Lebih lanjut Ustadz Syahrullah mengatakan Imam Al Ghazali membagi jenis kebahagiaan kepada beberapa bentuk. Pertama, kebahagiaan ukhrawi. Inilah kebahagiaan yang sifatnya kekal, tak berbatas, dan tidak bisa diprediksi manusia.
Kedua, kebahagiaan jiwa. Misalnya tetap berada pada kebenaran sesuai petunjuk agama, dan ada perasaan untuk selalu menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama, maka itu merupakan sebuah kebahagiaan jiwa.
Ketiga, kebahagiaan jasmani. Misalnya hidup keadaan sehat, tidak sakit, memiliki tampang yang rupawan atau cantik, maka hal tersebut merupakan kebahagiaan jasmani.
Keempat ada juga kebahagiaan yang sifatnya eksternal dari diri. Misalnya bahagia memiliki keluarga, bahagia memiliki harta.
Kelima, kebahagiaan taufik. Yakni ketika Allah menurunkan hidayahnya pada seorang hamba sehingga bisa mendekatkan diri pada Allah SWT.
Selain itu, Ustadz Syahrullah menjelaskan Imam Ghazali juga berpendapat bahwa kebahagiaan itu bertumpu pada tiga hal. Pertama, ada kekuatan amarah.
Ustadz Syahrullah mengatakan seorang hamba dapat mengelola amarahnya maka dia akan dapat menemukan kebahagiaan.
“Ketika kekuatan amarah ini mampu kita manfaatkan dengan baik. Kita tidak berlebihan dan tidak juga kurang menggunakannya, maka kita akan diantar kepada kebahagiaan,” kata Ustadz Syahrullah saat mengisi tausiyah Ramadhan setelah melaksanakan sholat tarawih di Masjid Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran yang juga disiarkan melalui kanal resmi You Tube Bayt Alquran pada Senin (25/4/2022)
Kedua, kekuatan nafsu. Ustadz Syahrullah menjelaskan nafsu melekat pada manusia.
Ketika seorang hamba tidak mampu mengendalikan nafsu maka dia akan terjerumus dalam dosa. Sesang orang yang dapat mengendalikan nafsu akan menemukan kebahagiaan.
Ketiga, memanfaatkan potensi ilmu dan amal. Ilmu yang diberikan Allah SWT menjadi sarana agar dapat mengendalikan kekuatan amarah dan nafsu.
Seseorang yang dapat menggabungkan ilmu dan amal akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan ukhrawi.
******
Republika.co.id/Ilustrasi Fotografer : Abah John.