Iwel Sastra, Direktur Iwel Humor Excellence
Garut News ( Rabu, 22/07 – 2015 ).

Karena masih dalam suasana Lebaran dan tulisan ini berjudul “Minta Maaf”, saya mulai dengan mengucapkan minal aidin wal fa’idzin, mohon maaf lahir dan batin.
Saya juga meminta maaf kepada semua orang yang bernama Zaidul dan Jamil karena saya akan menceritakan kisah Zaidul yang meminta maaf kepada Jamil. Pada hari Lebaran, Zaidul mendatangi rumah Jamil.
Setelah bicara ngalor-ngidul, Zaidul mengatakan kepada sahabatnya itu bahwa ia ingin meminta maaf atas semua kesalahannya. Jamil pun mengatakan memaafkan semua kesalahan Zaidul serta ikut meminta maaf jika punya salah. Merasa tak cukup berjabat erat, mereka pun berpelukan, so sweet …
Sebelum pulang, Zaidul menyerahkan sebuah amplop yang berisi daftar kesalahannya dan mengaku lega karena Jamil sudah memaafkan semuanya. Sepeninggal Zaidul, dengan penasaran Jamil membaca daftar kesalahan yang ditulis Zaidul.
Begitu membaca, Jamil kaget dan menyesal telah memaafkan Zaidul. Ternyata itu bukan sekadar daftar kesalahan biasa, melainkan daftar utang yang belum dibayar oleh Zaidul kepada Jamil.
Tentu saja kisah di atas bukan kisah nyata. Jika ada kesamaan dengan yang pernah Anda alami, itu hanya karena faktor kebetulan semata, dan untuk kebetulan tersebut, saya minta maaf. Cerita di atas ingin menggambarkan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf.
Namun, untuk menyelesaikan masalah, bisa dimulai dengan meminta maaf. Misalnya, pemerintah dalam suasana Lebaran ini bisa memulai dengan mengakui kesalahannya—belum bisa memenuhi harapan rakyat—dengan meminta maaf.
Kemudian, segeralah menyelesaikan segala permasalahan yang bisa membuat harapan rakyat kembali tumbuh. Jangan sampai keduluan oleh permintaan maaf dari rakyat yang mengatakan, “Maaf, Anda tidak bisa diharapkan lagi,” he-he-he…
Dalam cerita sufi, dikisahkan orang yang memberi lebih mulia daripada meminta. Namun ada juga permintaan yang mulia, yaitu permintaan maaf. Permintaan maaf biasanya terbagi menjadi dua.
Pertama, membuat masalah terlebih dulu, baru kemudian meminta maaf. Seperti ketika Anda membuat janji bertemu dengan teman, tapi terpaksa membatalkannya karena Anda terjebak kemacetan. Kedua, meminta maaf terlebih dulu baru membuat masalah. Ini biasanya kita temukan di jalan raya.
Pertama, kita akan melihat tulisan yang diletakkan di pinggir jalan, yang berbunyi, “Maaf, perjalanan Anda terganggu. Ada galian kabel”.
Kemudian, jalan di sekitarnya menjadi macet akibat galian kabel tersebut. Ini permintaan maaf yang memaksa karena baik dimaafkan atau tidak, proyek galian kabel akan tetap dilakukan. Jika contohnya kurang pas, saya minta maaf.
Saling memaafkan bisa dilakukan kapan saja untuk memperbaiki hubungan sesama manusia. Namun sudah menjadi semacam tradisi bahwa saling memaafkan ini lebih terasa bermakna jika dilakukan dalam suasana Lebaran.
Bahkan, teman saya mengatakan, dalam suasana Lebaran, kita menerima permintaan maaf di mana-mana. Telepon seluler penuh dengan pesan ucapan minta maaf. Di mal-mal, terpampang ucapan permintaan maaf.
Politikus, melalui spanduk, juga menyampaikan permintaan maaf. Bahkan, ketika mengunjungi mesin ATM untuk mengambil uang, ada ucapan permintaan maaf yang berbunyi, “Maaf, saldo Anda tidak mencukupi.”
********
Kolom/artikel Tempo.co