Martono Yuwono, Arsitek restorasi Kota Tua Jakarta.
Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat.
Garut News ( Selasa, 20/10 – 2015 ).
Banyak di antara kita tidak sadar adanya persoalan yang mengganjal yang berkaitan dengan “missing link” kesinambungan perjalanan sejarah bangsa. Persoalan itu adalah peminggiran atau bahkan penghancuran kearifan lokal sejumlah kota dan pencangkokan kota kolonial di atas puing-puing kota lama—suatu proses pembangunan kota tanpa adaptasi dengan budaya lokal.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Hindia-Belanda, De Longhe, pada 1941 menyatakan kota-kota warisan kolonial di Hindia-Belanda (Indonesia) tidak merefleksikan keberlanjutan proses budaya dari dalam (kearifan lokal) dan tidak dirancang alami sebagaimana proses pembangunan kota modern di Eropa (Ronald Gill, 1988).
Mari bayangkan sebuah kota produk drama “tsunami budaya” yang diwariskan kepada kita dengan komposisi pendatang di pusat dan penduduk lokal (inlander) di pinggiran. Penduduk lokal sekadar sebagai penonton dalam proses pembangunan.
Tujuh dekade sudah masalah ini tenggelam di bawah sadar dan berpotensi melahirkan tren modernisasi tanpa proses budaya yang seharusnya, yaitu pencangkokan ulang generasi kedua sebagai demonstration effect.
Ronald Gill mengatakan para arsitek Indonesia tidak tertarik terhadap dampak budaya arsitektur sepanjang era kolonial. Mereka lebih tertarik merekayasa arsitektur modern sebagai mahakarya mereka.
Situasi ini memicu masalah yang lebih rumit, yakni tumbuhnya budaya baru di atas budaya lama tanpa proses adaptasi. Padahal, ada hubungan timbal balik antara kota dan manusia, seperti kata Sir Winston Churchill, “We shape our buildings; thereafter they shape us.”
Gerakan revolusi mental Presiden Joko Widodo perlu diikuti dengan revolusi pembangunan kota. Sebagai penyeimbang modernisasi yang permisif, ahistoris, bebas nilai, dan berorientasi pasar, perlu pendekatan pelestarian sejarah sebagai strategi budaya dengan meruwat, merestorasi kearifan lokal kota yang telah tergerus atau punah.
Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada 1966-1977, pernah melakukannya ketika merestorasi Kota Tua Batavia menjadi Taman Fatahillah.
Untuk itu, kami mengusulkan Patriot Trail Jakarta menjadi ruang publik berwawasan kebangsaan yang merefleksikan jejak sejarah perjuangan bangsa sepanjang lima zaman, dari era Hindu (Sunda Kelapa), Islam (Jayakarta), Kolonial (Batavia), Republik Indonesia (Jakarta), dan global (Jakarta Baru).
Patriot Trail dirancang sebagai strategi terapeutik guna mengawal karakter Jakarta Kota Juang dan Kota Maritim.
*******
Kolom/ Artikel Tempo.co