Oleh/Fotografer : John Doddy Hidayat.
Garut News ( Kamis, 05/03 – 2015 ).

Kesadaran penduduk Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyekolahkan putra dan putri mereka cenderung meningkat.
Terbukti banyak warga pedesaan hingga perkampungan memiliki obsesi bisa menyekolahkan anak.
Meski dibalik keinginan luhur mencerdaskan anak bangsa ini, kerap kudu ditebus dengan kerja keras suami-istri mengais rezeki.

Termasuk menjadi buruh atawa pekerja, yang setiap hari meretas “asa” maupun harapan dari proses panjang memproduksi bata merah di tengah areal pesawahan.
Lantaran, kendati murid SD dan SMP negeri gratis SPP, tetapi nyaris setiap hari tak pernah absen beragam iuran di sekolah.
Termasuk pemenuhan kebutuhan pembelian “Lembar Kerja Siswa” (LKS), yang kian menjadi kewajiban murid bersama orangtuanya.

Tiada hari tanpa biaya sekolah itu, tak berbanding lurus dengan kian meningkatnya kualitas kesejahteraan guru bersama kepala sekolahnya.
Kian banyak pula di antaranya berangkat ke sekolah dengan bersepeda motor, bahkan bermobil, nyaris langka pula bisa menemukan guru atau kepala sekolah berjalan kaki atawa bersepeda seperti “Oemar Bakri”, sebab kini antara lain telah bersertivikasi.

Mengais rezeki memproduksi 500 buah bata merah setiap hari, yang digarap delapan pekerja, ternyata bukan pekerjaan mudah, dan mendadak sontak bisa membuahkan uang.
Apalagi setiap seluruh proses produksi dilakukan secara manual, musim penghujan menjadikan proses produksi menjadi tersendat.

Lantaran tahapan pengeringan menjadi lambat, sebelum memasuki tahapan pada tungku pembakaran.
Mobilitas pemasaran, juga diawali melintasi jalan setapak pematang sawah, yang kerap licin setiap diguyur hujan.
Ongkos pikul serta transfortasi angkutan cenderung meningkat, terkait harga BBM kerap berfluktuatif nyaris menyerupai harga cabe keriting di pasar becek.

Sehingga dengan harga jual sebuah bata merah Rp550,- di lokasi konsumen, menjadikan nilai penghasilan atawa upah para pekerjanya selama ini terbilang “cekak”.
Maka masih bisa hidup juga terbilang untung.
Menyusul para pemilik usaha tersebut, semakin menghadapi persaingan ketat.
“Bahagia melihat anak berseragam sekolah”

Namun dibalik peluh dan cucuran keringat para buruh pembuat bata merah, sejenak mereka bisa sumringah bahagia bisa melihat anak berseragam sekolah.
Bahkan bekal makanan yang dibawa dari rumah, acap dibagi dua dengan anak jika datang ke “lio” atawa lokasi bekerja.
Sehingga asalkan anak bisa sekolah, selama ini mendorong motivasi orangtuanya bertahan dan menjalani profesinya sebagai buruh.

Mereka tak bercita-cita bisa memiliki bertaburannya emas permata, maupun segenggam berlian, melainkan ingin menyekolahkan anak.
Memenuhi desakan kebutuhan LKS, atawa “Dana Sumbangan Pendidikan” (DSP) yang sebentar lagi memasuki tahun pelajaran baru.
Lantaran jargon sekolah gratis kian samar gaungnya, pasca beragam kegiatan kampanye.



Namun dinamika kehidupan kudu terus berjalan.
Dengan menjadi buruh di Lio Bojong Awi, Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat.
*********