Menimbang Kemitraan Trans-Pasifik

0
83 views

Kiki Verico, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Selasa, 10/11 – 2015 ).

Mobil Kepresidenan RI.
Mobil Kepresidenan RI.

Data menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi antarnegara banyak dilakukan di tingkat kawasan. Hubungan ini bisa saling melengkapi, misalnya kerja sama antara perdagangan dunia dan kawasan yang ibarat “masakan dan bumbunya” (Lamy, 2007).

Salah satu kerja sama kawasan ekonomi yang besar selain Uni Eropa adalah Asia-Pasifik. Selain Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), kerja sama terbatas yang terjadi di kawasan ini adalah Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) yang dirintis sejak 2008.

Selama proses negosiasi yang cukup alot di antara negara anggota TPP hingga 2015, Indonesia memilih berada di luar dan lebih berfokus pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dilaksanakan mulai akhir 2015 dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang mencakup negara ASEAN+6 (10 negara anggota ASEAN ditambah Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru) yang dirintis sejak 2012, tapi diperkirakan masih menyelesaikan negosiasinya hingga awal 2016.

Di tengah proses negosiasi RCEP, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai oleh TPP pada 5 Oktober lalu. Hanya berselang tiga pekan, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia memiliki keinginan untuk bergabung dengan TPP.

Pernyataan yang disampaikan saat Presiden memberikan keterangan kepada awak media bersama Presiden Barack Obama pada 26 Oktober lalu itu menyita perhatian dunia. Ini karena Indonesia adalah negara anggota APEC terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya negara anggota ASEAN di kelompok G20.

Keinginan Indonesia dapat mengubah keseimbangan ekonomi kawasan Asia-Pasifik antara RCEP dan TPP. Saat ini RCEP memiliki 16 negara anggota dengan 3,5 miliar penduduk, PDB US$ 23 triliun dan menguasai sekitar 28 persen perdagangan dunia. Adapun TPP terdiri atas 12 negara anggota dengan jumlah penduduk 797 juta, namun PDB dan proporsi perdagangan dunianya lebih tinggi, sekitar US$ 28 triliun dan 33 persen.

Memang ada potensi kerugian bila sebuah negara tidak masuk ke skema kerja sama tertentu, karena negara tersebut akan mengalami diskriminasi ekonomi. Diskriminasi terjadi karena negara anggota mendapat perlakuan istimewa yang tidak akan didapatkan oleh negara bukan anggota.

Tujuan diskriminasi ini adalah meningkatkan perdagangan antarnegara anggota dengan kemungkinan menurunnya perdagangan dengan negara yang bukan anggota.

Diskriminasi bisa dialami Indonesia di pasar TPP karena pesaingnya, Vietnam dan Malaysia, adalah negara anggota. Ekspor Indonesia yang diperkirakan akan terkena dampak lebih dulu adalah tekstil dan pakaian jadi, karena produk ini termasuk salah satu prioritas TPP.

Terkait dengan keinginan Indonesia masuk ke TPP, beberapa poin umum berikut dapat menjadi pertimbangan. Pertama, berbeda dengan perjanjian ekonomi lainnya, TPP tidak hanya mengatur hubungan ekonomi antarnegara, seperti perdagangan dan investasi, tapi juga “harmonisasi” dengan aturan dalam negeri negara anggota.

Hal ini dimaksudkan agar peraturan di dalam negeri menjadi transparan dan stabil, sehingga dapat diprediksi dan terkoordinasi. Deregulasi dan debirokratisasi searah dengan tujuan ini, namun “harmonisasi” seperti ini tetap bukan pekerjaan rumah yang sederhana.

Kedua, penyetaraan standar negara anggota, seperti dalam hal manajemen lingkungan, ketenagakerjaan, persaingan usaha, serta peran badan usaha milik negara yang adil dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual juga tidak mudah, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Ketiga, dari sisi pengamanan perdagangan, misalnya, pengamanan dengan standar kebersihan dan kesehatan pangan (Sanitary & Phytosanitary/SPS) harus berdasarkan bukti ilmiah. Keempat, dari sisi perlindungan industri dalam negeri, misalnya, pemberlakuan mekanisme pengamanan hanya boleh dilakukan sementara waktu dan tidak boleh tumpang-tindih.

Kelima, penggunaan kandungan dan teknologi lokal bukan merupakan syarat investasi dan keringanan tarif. Kebijakan ini mempermudah penerapan aturan asal produk atau rule of origin TPP, namun menghilangkan kesempatan untuk mengatur Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Tapi, TPP memberikan pula potensi keuntungan terhadap efisiensi dan peningkatan kualitas telekomunikasi dan optimalisasi penggunaan ekonomi digital, termasuk transaksi elektronik, yang tengah naik daun di sini.

Potensi keuntungan juga terletak pada pemberdayaan usaha kecil menengah, transparansi pengadaan barang dan jasa publik, serta penerapan regulasi antikorupsi.

<B>Ini opini pribadi, tidak ada hubungan dengan institusi tempat penulis bekerja. </B>

*******

Kolom/artikel Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here