Senin 17 September 2018 07:04 WIB
Red: Elba Damhuri
“Lech Walesa berteriak, …”
REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Saya termasuk beruntung mengawali profesi wartawan di pengujung 1980-an, bisa ‘menyaksikan’ perubahan besar di berbagai belahan dunia. Juga tokoh-tokoh yang disebut sebagai negarawan.
Era 1960-an hingga 1980-an dunia terbagi-bagi, secara geografis maupun ideologis. Ada Blok Barat, ada Blok Timur. Blok Barat dipimpin Amerika Serikat (AS), Blok Timur dikomandani Uni Soviet. Blok Barat sering disebut sebagai demokratis bin kapitalis, sedangkan Blok Timur acap dicap sebagai diktator (satu partai) komunis/sosialis.
Antara kedua blok terjadi perebutan pengaruh atas negara-negara di berbagai belahan dunia. Lazim disebut Perang Dingin. Namun, namanya juga Perang Dingin, AS dengan Uni Soviet tidak pernah terjadi perang langsung. Yang ada hanya saling menggertak dan mengancam. Perang justru terjadi di negara lain yang dijadikan negara boneka.
Dalam suasana Perang Dingin–yang sebetulnya panas–itulah, di Barat seorang bintang film yang bernama Ronald Reagan terpilih untuk bersinggasana di Gedung Putih. Sebagai aktor, Reagan biasa-biasa saja.
Tidak ada satu pun film yang dibintanginya best seller. Namun, sebagai presiden, Reaganlah yang tercatat dalam sejarah sebagai yang mempercepat bubarnya Uni Soviet dan sekaligus Blok Timur yang komunis.
Pada waktu yang hampir sama, seorang tukang listrik di Polandia bernama Lech Walesa berseru di atas mimbar demonstran: “Wahai seluruh kaum pekerja, bersatulah…!” Seruannya pun menggema di seluruh Polandia. Rakyat di seluruh negeri–dan bukan hanya kaum pekerja–selama berhari-hari berunjuk rasa damai untuk menggulingkan rezim komunis.
Seiring runtuhnya komunis, si tukang listrik itu pun terpilih menjadi Presiden Polandia.
Pada dasawarsa itu di daratan Eropa memang sedang terjadi perubahan besar-besaran berbarengan runtuhnya Blok Komunis dan bubarnya Uni Soviet. Seorang penulis (skenerio) drama, pembangkang, hidup luntang-lantung, dan menjadi langganan penjara, bernama Vaclav Havel, pun menjadi presiden Republik Cekoslowakia (1989).
Di Prancis, Francois Mitterrand jadi tokoh sosialis pertama yang melenggang ke Istana Elysee, John Major yang berasal dari rakyat biasa pun berkantor di Downing Street sebagai perdana menteri Inggris.
Nama-nama tersebut di atas merupakan orang-orang biasa yang telah mengubah arah sejarah dunia. Mereka acap disebut sebagai negarawan.
Reagan yang hanya aktor kelas dua terpilih menjadi presiden AS hingga dua periode. Pencapaian ekonomi Reagan pun disebut sangat excellent, yang kemudian dikenal sebagai Reaganomics.
Dan, seperti Presiden-presiden AS fenomenal sebelumnya, ia pun menikmati sisa hidupnya dengan penuh kehormatan. Begitu pula dengan Mitterrand dan Major. Juga Lech Walesa dan Havel.
Lech Walesa, meskipun melakoni presiden hanya satu periode, ia tidak perlu berkecil hati. Mantan tukang listrik dan bengkel mobil ini ternyata laku keras sebagai penceramah.
Laiknya dosen terbang, ia pun berkeliling dunia, diundang ceramah di berbagai negara. Tarifnya 70 ribu dolar sekali ceramah. Tentu ia tidak diminta menjelaskan teknik kelistrikan dan perbengkelan, namun tentang masalah-masalah besar dunia.
Bukan hanya itu. Ia bahkan dianugerahi gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) dari sana-sini. Tidak main-main, jumlahnya 45 doktor. Itu pun satu dari Harvard (AS) dan satu lainnya dari Sorbonne (Prancis)–dua universitas terkemuka dunia. Berbagai lembaga internasional juga berlomba-lomba untuk memberi penghargaan kepadanya. Kali ini jumlahnya 30 penghargaan.
Salah satunya adalah Komite Nobel Norwegia, yang menganugerahkan Penghargaan Nobel Perdamaian (1983). Si mantan tukang listrik ini dinilai telah berjasa memperjuangkan hak asasi manusia dalam meruntuhkan tembok tebal komunis di negaranya dengan penuh kedamaian.
Seperti halnya Lech Walesa, Vaclav Havel memulai perjuangannya juga dari komunitasnya, masyarakat seni dan budaya. Masuk keluar penjara pun sudah menjadi langganan. Mereka minim pengalaman dalam bidang politik dan apalagi pemerintahan.
Namun, terlepas dari berbagai pengalaman plus kekurangan tadi, Walesa dan Havel justru telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk generasi penerus. Mereka telah membukakan cakrawala ekonomi yang terbuka dan bebas. Mereka juga berhasil mengawal transisi politik dan alih kekuasan dari rezim komunis ke sistem yang lebih demokratis dengan penuh kedamaian dan tanpa kegaduhan.
Havel adalah presiden terakhir Cekoslowakia. Ia juga merupakan presiden pertama Ceko setelah Cekoslowakia pecah menjadi dua negara, Ceska dan Slowakia. Dengan kepemimpinan seperti itu– sejak memimpin aksi demonstrasi melawan rezim komunis, menjadi presiden Cekoslowakia dan kemudian mengawal terbaginya negara itu menjadi dua–banyak pihak pun menyebut periode Havel sebagai transisi atau revolusi beludru.
Disebut demikian karena alih kekuasaan berjalan sangat damai tanpa membutuhkan polisi dan tentara. Setelah tidak menjadi presiden, Havel pun memilih menepi dari dunia politik dan menikmati hidup bersama istri hingga meninggal dunia pada 2011 dalam usia 75 tahun.
Di Indonesia ada tokoh bernama Habibie, lengkapnya Prof Dr Ing Haji Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia merupakan presiden ketiga Republika Indonesia. Masa jabatannya sebagai orang nomor satu di negeri ini sangat singkat dibandingkan presiden-presiden Indonesia lainnya.
Namun, masa yang sangat pendek itu–1 tahun dan 5 bulan–adalah periode yang paling menentukan bagi republik ini. Ia berhasil mengawal masa transisi Indonesia dari rezim diktator-otoriter menuju negara yang lebih demokratis. Ia juga telah berhasil menyelamatkan NKRI dari perpecahan.
Ketika memegang amanat sebagai presiden, Habibie mewarisi kondisi negara yang sedang kacau. Kerusuhan marak di mana-mana. Ancaman disintegrasi bisa muncul kapan saja. Kondisi ekonomi pun sangat buruk.
Karena itu, begitu ia dilantik jadi presiden, hal pertama yang ia lakukan adalah membentuk sebuah kabinet yang kuat untuk memperoleh kepercayaan masyarakat, termasuk masyarakat dunia. Terutama untuk memulihkan ekonomi.
Ia pun, antara lain, berhasil menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar, dari Rp 15 ribu-Rp 16 ribu menjadi Rp 6.500 per dolar AS. Sebuah angka yang tidak pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya.
Berikutnya, ia membebaskan para tahanan politik. Kebebasan pers ia jamin. Ia juga mengeluarkan UU Antimonopoli dan UU Persaingan Sehat. Juga UU Parpol dan UU Otonomi Daerah. Melalui UU inilah gejolak disintegrasi bisa diredam. Ia pun menyetujui Tap MPR yang membatasai jabatan presiden/wakil presiden hanya dua periode.
Selanjutnya, ia pun mempercepat penyelenggaraan pemilu demokratis yang diikuti oleh 48 partai. Habibie sendiri tidak mencalonkan diri menjadi presiden meskipun aturan atau undang-undang memperbolehkannya.
Setelah tidak menjadi presiden, Habibie pun memilih untuk menjadi orang biasa. Ia minggir dari hiruk-pikuk dunia politik, apalagi memimpin partai. Tidak seperti para mantan presiden yang masih sibuk berpartai. Dua anak laki-laki Habibie pun tidak dikader sebagai politisi. Mereka dipersilakan menentukan hidupnya sendiri.
Namun, justru karena sikapnya itulah Habibie malah dihormati sebagai negarawan. Dan, mungkin dialah satu-satunya presiden yang riwayat hidupnya difilmkan justru ketika ia masih hidup. Hebatnya lagi, filmnya digemari rakyat Indonesia.
******
Republika.co.id