Mencicipi Rasa dalam Tabu Rasa

0
73 views

Jakarta, Garut News ( Selasa, 23/09 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

Sebuah warung Padang bernama Takana Juo di pojok Jakarta.

Seorang Emak (Dewi Irawan), pemilik delapan tulang kuat yang memanggil seluruh tubuh dan jiwanya yang letih; Parmanto (Yayu Unru), sang juru masak , seperti seniman dan ahli masak umumnya, yang tinggi hati dan ego tak boleh tersentil sedikit jua;  Uda Natsir (Ozzol Ramdan),  si tukang sanduak  sekaligus pelayan rumah makan.  

Di lapau nasi itulah muncul seorang pemuda berkulit gelap, berambut keriting berkaus merah compang camping dan berjalan terseret-seret.

Hans (Jimmy Kobogau), pemuda  yatim piatu Serui, Papua yang semula pergi ke Jakarta karena terpilih untuk dilatih sepakbola tertabrak nasib buruk. Kaki patah, tak diurus.

Jadilah dia tertatih-tatih dan terdampar ke hadapan warung kecil itu: dari membantu mencuci piring, ikut berbelanja sejak subuh hingga akhirnya perlahan memasak di dapur.

Di dapurpun ada politik dan intrik. Parmanto tersenggol egonya, karena “sayalah juru masak rumah makan ni”,katanya melotot.

Apalagi mereka semua menyalahkan sepinya pengujung lapau nasi sehingga nama Takana Juo tak punya makna.

Parmanto ngambeg dan pergi, maka Hans yang memang kelihatan berbakat memasak perlahan menjadi pengganti Parmanto.

Selesaikah persoalan itu di situ? Tentu saja tidak.

Ini dinyatakan sebagai film kuliner, maka peran utama film ini adalah makanan yang menjadi pusat dari cinta dan cerita.

Makanan itu bernama gulai kepala ikan kakap. Kepala ikan kakap yang dibumbui, dicemplungkan ke dalam kuah santan kuning yang dimasak di atas kuali dan tungku dengan arang.

Tidak dengan kompor gas, tidak dengan santan kaleng dan tidak juga dengan bumbu instan.

Semua harus dibuat dari bumbu asli yang digerus di atas ulekan sejak matahari masih tidur.

Persoalannya, Emak tak akan pernah mau mengajar Hans untuk memasak gulai dahsyatnya itu, karena ada sebuah cerita pedih di balik  gulai kepala ikan kakap itu.

Ide cerita dan plot film ini menarik. Film kuliner selama ini belum pernah menjadi pilihan para sineas Indonesia, padahal Indonesia luar biasa kaya dengan tradisi, ritual dan kisah keluarga yang selalu saja berkaitan dengan makanan.

Produser Sheila Timothy mengaku beberapa film yang menjadi  referensi seperti  Ang Lee yang berjudul Eat Drink Man Woman, The Scent of Green Papapaya  karya Ang Lee dan The Scent of Green Pappaya arahan sutradara Vietnam Tran Anh Hung.

Referensi itu sudah tepat karena itu adalah dua dari banyak film kuliner yang melekat di benak, hati dan lidah kita.

Sutradara baru Adriyanto Dewo yang menjanjikan dalam film-film pendeknya dan penulis skenario Tumpal Tampubolon juga terlihat jejaknya dalam beberapa adegan dan dialog yang cerkas.

Tetapi apakah film ini berhasil melekat pada benak, hati dan lidah penonton?

Sebuah karya—novel, cerita pendek, film atau esei—yang menamakan dirinya karya kreatif kuliner untuk saya harus mampu merasakan lezatnya makanan, aroma bumbu, manis asam pedasnya kuah dan yang terpenting bagaimana proses pembuatan makanan itu memiliki relasi kepada emosi para tokohnya.

Saya membayangkan perasaan yang muncul seperti saat kita membaca kumpulan sketsa Umar Kayam dalam Mangan Ora Mangan Kumpul (Pustaka Utama Grafiti, 1990) yang membuat kita tak akan lupa gurihnya ayam penggeng dan sate usus; atau betapa penting dan sakralnya pembuatan kaldu sup dalam film Eat Drink Man Woman.

Keinginan itu dalam film Tabula Rasa sudah jelas: hubungan Emak dan gulai kepala kakap serta sebuah kenangan.

Tetapi kita tak cukup melihat secara visual betapa penting dan asyiknya sang gulai kepala kakap dan hubungannya dengan masa lalu yang pedih.

 

Visualisasi dendeng batokok, rendangpun baru dimunculkan belakangan, itupun penonton hanya masih menyaksikan panci-panci, dapur sederhana –yang harus diakui hasil tata artistik yang meyakinkan—arang dan api.

Hanya baru di paruh akhir penonton dimanjakan dengan insert short—sorotan yang sangat detil—dari masakan gulai kepala kakap yang maha penting itu.

Drama keluarga memang penting, tetapi jika ini dinyatakan sebagai film kuliner, maka makanan harus menjadi ‘peran utama’ secara jiwa dan raga.

Di luar soal film kuliner yang kurang rasa makanan, untuk saya, persahabatan Emak dan Hans sangat penting dan menyentuh dan menjadi titik paling bercahaya dari seluruh film.

Jimmy Kobogau seperti seseorang yang mencebur dan menyatu dengan toko Hans yang merasa tertipu oleh Jakarta dan menganyam harapan ketika bertemu dengan Emak.

Dewi Irawan yang hampir selalu menjadi ibu dalam setiap film Indonesia, berhasil menunjukkan betapa banyaknya spektrum “ibu” yang mampu dia sajikan.

Di sini, dia adalah seorang ibu kuat, ratu dapur bertulang baja yang sebetulnya memiliki luka masa lalu yang tenggelam di dalam kuah gulai yang dicintainya.

Dewi Irawan memang seorang aktor bunglon  yang mahir berganti warna pada setiap layar film yang dia bintangi

Debut sutradara Adriyanto Dewo memang belum sepenuhnya menghasilkan gulai kakap seasyik masakan emak, tetapi dia sudah memperlihatkan janji bahwa suatu hari dia akan menjadi koki yang hebat dalam sinema Indonesia.

Leila S.Chudori

TABULA RASA
Sutradara : Adriyanto Dewo
Skenario : Tumpal Tampubolon
Pemain : Jimmy Kobogau, Dewi Irawan. Ozzol Ramdan, Yayu Unru
Produksi : Lifelike Pictures

******

Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here