Fadel Muhammad, Ketua Komisi XI DPR RI
Garut News ( Kamis, 09/04 – 2015 ).

Perkembangan nilai tukar rupiah saat ini perlu mendapat perhatian khusus karena sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Sementara harga barang bergejolak, public trust harus dijaga, agar optimisme rakyat tetap ada.
Itu sebabnya diperlukan penataan ulang kebijakan makro-mikro ekonomi agar pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar mata uang tidak meleset dari asumsi dasar yang telah ditetapkan dalam RAPBNP 2015.
Salah satu sumber pelemahan nilai tukar adalah defisit transaksi berjalan. Bank Indonesia (BI) atau current account deficit (CAD) memprediksi Indonesia pada 2015 akan berada di level 3,0 persen dari PDB, karena pemerintah akan membelanjakan Rp 155,2 triliun di antaranya untuk infrastruktur.
Tidak semua bahan tersedia dalam negeri, sehingga perlu melakukan impor.
Tugas berat pada masa mendatang adalah memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan meningkatkan surplus perdagangan internasional. Pekerjaan menurunkan CAD ini membutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan.
Setelah krisis ekonomi pada 1997-1998, kita kurang menaruh perhatian pada sektor manufaktur dan perbaikan struktur ekonomi. Mari simak data makro-ekonomi kita sebelum dan sesudah krisis ekonomi. Kontribusi sektor primer terhadap PDB pada 1983 adalah 43,64 persen, sektor sekunder, lebih tepatnya sektor manufaktur, kontribusinya hanya 19,08 persen.
Pangsa sektor manufaktur terhadap PDB pada 1996 menjadi 34,80 persen, sedangkan sektor primer turun menjadi 25,33 persen pada 1996. Pada periode krisis ekonomi 1997-1999, struktur perekonomian Indonesia relatif tidak mengalami perubahan yang berarti.
Dalam kurun 2005-2010, sektor yang terlihat cenderung meningkat pangsanya terhadap PDB adalah sektor primer. Pangsa sektor primer pada 2010 adalah 26,49 persen, meningkat dibanding pada 2005 yang memiliki pangsa 24,27 persen.
Hal ini akibat kebijakan daerah yang memberi izin untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Selama 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-rata 5,7 persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan PDB (5,2 persen). Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB menurun relatif dibandingkan dengan sektor perekonomian yang lain, sedangkan industrialisasi yang tengah berjalan sejak 2009 memasuki fase titik balik.
Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Industri pengolahan nonmigas tidak mencapai target pertumbuhan yang dipatok pada 2014 sebesar 6 persen, dan hanya mampu tumbuh 5,6 persen.
Mengapa ini terjadi? Ada tiga penyebab. Pertama, rendahnya dukungan perbankan. Kredit perbankan ke sektor industri secara absolut memang tumbuh, tapi persentasenya makin rendah. Kredit perbankan untuk industri pengolahan pada 2014 hanya 17,9 persen.
Sektor yang paling banyak menyerap kredit perbankan adalah sektor rumah tangga (21,5 persen), serta sektor perdagangan besar dan eceran (19,7 persen).
Kedua, masih lemahnya dukungan universitas dan lembaga riset di negeri ini. Daya saing Indonesia masih mengandalkan faktor efficiency driven, belum mengarah ke innovation driven yang didukung oleh intellectual capital.
Daya saing Indonesia saat ini berada di peringkat 34 dari 144 negara, di bawah Malaysia dan Thailand.
Ketiga, stabilitas ekonomi. Hal ini berkaitan dengan belum terbentuknya arsitektur sistem keuangan nasional yang tangguh yang mensinergikan kebijakan makro-mikro, sehingga menyebabkan Indonesia mudah terpengaruh oleh gejolak ekonomi internasional seperti yang terjadi saat ini, yaitu penguatan ekonomi Amerika yang telah membuat rupiah mengalami depresiasi yang berkepanjangan.
Sudah saatnya kebijakan makro-mikro ekonomi diarahkan untuk menciptakan ketangguhan ekonomi nasional dan memperkuat neraca perdagangan.
Sektor yang harus dipacu adalah sektor industri yang berorientasi ekspor dan pariwisata, karena kedua sektor ini merupakan penangguk devisa. Laju deindustrialisasi harus dihentikan dengan memperbaiki permodalan.
Perbaikan yang dilakukan bisa melalui kemudahan syarat pengajuan kredit dari bank atau penggelontoran dana langsung dari pemerintah sebagai pinjaman lunak, seperti kredit usaha rakyat (KUR).
Pekerjaan yang harus dilakukan adalah bagaimana memperbesar proporsi modal untuk industri dari kalangan privat dan memperbaiki besaran dan aksesibilitas modal program pemerintah.
Sektor pariwisata juga perlu dibenahi, terutama dengan perluasan kebijakan bebas visa sehingga mempermudah wisatawan asing berkunjung ke Indonesia. Mereka adalah pembawa devisa.
Untuk itu, DPR RI, khususnya Komisi XI, bersama Bappenas, BI, OJK, serta Kementerian Keuangan dan kementerian teknis terkait perlu merumuskan regulasi dan agenda riil guna membuat roadmap penguatan ekonomi Indonesia melalui kebijakan surplus perdagangan dan peningkatan wisatawan.
Juga mendorong ekspor manufaktur dan pertumbuhan industri substitusi impor dengan regulasi dan kebijakan investasi dalam rangka pengurangan ketergantungan impor bahan baku dan bahan penolong. *
********
Kolom/Artikel Tempo.co