Agung Baskoro,
Analis Politik Poltracking
Garut News ( Sabtu, 17/05 – 2014 ).
Tak lama setelah hasil rekapitulasi pemilu legislatif (pileg) ditetapkan KPU (9 Mei) dan tak ingin mengulang kesalahan pada Pemilu 1999, PDIP terus bergerilya memastikan mitra koalisi.
Terakhir, 13 Mei lalu, Poros Joko Widodo (Jokowi) kembali memperoleh dukungan tambahan dari Golkar, setelah sebelumnya NasDem dan PKB sepakat untuk bersama.
Bila digabung secara keseluruhan, poros ini akan mendapatkan raihan suara sebesar 49,46 persen, sebuah angka solid yang cukup untuk memajukan paket pasangan capres-cawapres ataupun mengimbangi peta dukungan eksekutif di parlemen nanti.
Bila melihat peta persaingan sementara ini, Poros Jokowi hanya bisa diimbangi oleh Poros Prabowo Subianto yang telah memperoleh mitra koalisi melalui PPP dan PAN.
Dan bila diakumulasikan, total suara yang berhasil dikumpulkan oleh ketiganya berjumlah 25,93 persen.
Di sisi yang lain, Partai Demokrat, PKS, dan Hanura belum memutuskan ke mana arah dukungan akan diberikan atau malah bersepakat untuk memunculkan Poros Baru yang gagal diinisiasi oleh ARB.
Dalam konteks ini, sebenarnya, secara matematis, pemenang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli nanti sudah bisa ditebak.
Namun politik bukan sekadar hitungan di atas kertas, karena banyak faktor turut mempengaruhi.
Bila ditelusuri, pilpres adalah kontestasi figur, walaupun dalam pileg yang lalu kondisi ini sudah terjadi dan menjelaskan bagaimana terdongkraknya suara PDIP, Gerindra, dan PKB dengan kehadiran Jokowi, Prabowo, Rhoma Irama, Jusuf Kalla, Mahfud Md., serta sederet nama-nama besar lainnya.
Fakta ini diperkuat pula oleh temuan Poltracking, sepanjang Oktober 2013, Desember 2013, dan Maret 2014, yang menjelaskan bahwa kedekatan pemilih dengan partai (party id) hanya 17-25 persen.
Pekerjaan rumah bagi Poros Jokowi ataupun Poros Baru–bila terbentuk nantinya–menyisakan siapa figur yang layak menjadi cawapres.
Sebab, pada saat yang bersamaan, Poros Prabowo telah memastikan Hatta Rajasa sebagai cawapres yang diusung.
Figur cawapres memiliki posisi sentral pada pilpres kali ini karena menentukan siapa pemenang dan bagaimana pemerintahan bergulir efektif di masa mendatang.
Bila merujuk pada survei profesor dari Poltracking akhir Maret 2014, syarat cawapres ideal (baca: basis elektabilitas dan kualitas) akan mudah dipenuhi oleh poros mana pun.
Sebab, nama-nama ini berasal dari proses seleksi sosok kuat di internal partai, publik, dan telah diuji melalui 330 profesor di seluruh Indonesia, yang merepresentasikan orang-orang dengan predikat puncak dalam dunia akademik.
Basis penilaian yang dilakukan oleh para profesor ini mencakup tujuh dimensi kepemimpinan, meliputi integritas, visi dan gagasan, leadership dan keberanian mengambil keputusan, kompetensi dan kapabilitas, pengalaman dan prestasi kepemimpinan, kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, serta kemampuan memimpin koalisi partai politik di pemerintahan.
Hasilnya, di luar skema Jokowi, Prabowo, ARB, Wiranto, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan Megawati (yang memang sudah direstui oleh partai masing-masing ataupun sudah memberikan tiketnya kepada kandidat lain) dan masuk pula dalam survei ini, maka berturut-turut terdapat nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Yusril Ihza Mahendra, Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Akbar Tandjung pada peringkat 15 besar.
Ada ungkapan menarik dari Pierre Salinger, juru bicara Presiden AS John F. Kennedy, tentang pedoman, bagaimana seharusnya seorang wakil presiden bersikap.
“Dia harus rela berjalan satu langkah di belakang, bersedia berbicara dengan nada lebih rendah, dan sama sekali tak boleh bermimpi merebut jabatan presiden.” (Pour, 2001).
Memilih cawapres menjadi pekerjaan tidak mudah, di tengah persaingan mitra koalisi dan tingginya rivalitas calon yang ingin menunjukkan eksistensi.
Sampai pada tahapan ini, menemukan dwitunggal seperti halnya Soekarno-Hatta dan SBY-JK bukan hanya dominasi elite partai semata, karena ini menyangkut nasib lima tahun Indonesia Raya.
Maka sudah semestinya mempertimbangkan harapan rakyat menjadi utama.
Pertarungan pilpres kali ini kembali akhirnya ditentukan oleh ke mana arah SBY bergerak, karena raihan suara Demokrat cukup signifikan untuk membentuk poros baru bersama partai sisa, yakni PKS dan Hanura.
Sekaligus dapat memberi dinamika (sintesis) di tengah pertarungan gagasan Revolusi Mental Jokowi dan Nasionalisme Ekonomi Prabowo.
Bila hal ini terealisasi, publik setidaknya dapat lebih leluasa memilih menu terbaik sampai lima tahun yang akan datang.
Sebab, hal ini sebenarnya memang terintegrasi melalui proses konvensi calon presiden Demokrat yang telah berlangsung sejak setahun lalu.
Pilihan SBY untuk membentuk poros baru lebih strategis karena, secara internal ataupun eksternal, Demokrat dapat kembali solid dan publik sejenak dapat mengalihkan perhatiannya ke capres Demokrat dari Nazaruddin Effect ataupun berbagai kasus hukum yang kini membelit banyak kader partai berlambang mirip logo Mercy ini.
******
Kolom/Artikel : Tempo.co