Membenahi Bahasa, Membenahi Matematika

Membenahi Bahasa, Membenahi Matematika

660
0
SHARE

Iwan Pranoto, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi

Garut News ( Sabtu, 11/07 – 2015 ).

Ilustrasi. (Foto: John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto: John Doddy Hidayat).

Pengajaran kebahasaan yang bermutu di suatu sekolah akan berdampak positif pada pelajaran lain.

Khususnya keberadaan guru mata pelajaran bahasa yang baik akan meningkatkan prestasi murid bukan saja di bahasa, tapi juga di mata pelajaran matematika, dan pengaruhnya pada matematika ini bertahan lama.

Lebih tepatnya, murid yang belajar dari guru bermutu di mata pelajaran “English Language Arts” (ELA), prestasinya di pelajaran matematika akan meningkat juga.

Temuan ilmiah yang mendukung pernyataan di atas dilaporkan dalam sebuah artikel berjudul “Learning that Lasts: Understanding Variation in Teachers’ Effects on Students’ Long-Term Knowledge”.

Penelitian yang tentunya bermanfaat pada perancangan kebijakan pendidikan ini dilaksanakan oleh Benjamin Master dan Susanna Loebdari Universitas Stanford serta James Wyckoff dari Universitas Virginia.

Hal ini memberi pesan bagi penentu kebijakan pendidikan bahwa upaya perbaikan mutu guru kebahasaan sangat strategis, karena dampaknya bersifat lintas disiplin dan bertahan lama.

Khusus untuk Indonesia, jika situasinya boleh disejajarkan, ini berarti bahwa peningkatan mutu guru matematika perlu dibarengi dengan peningkatan mutu guru kebahasaan (bahasa Indonesia dan bahasa lain) sekaligus kurikulum dan buku ajarnya.

Ini berarti bahwa perancangan strategi pengembangan pendidikan matematika dan bahasa perlu disiapkan dalam sebuah payung serta sasaran bersama.

Dalam laporan tadi tidak dijelaskan mengapa hasilnya demikian. Namun temuan di atas menyokong keyakinan bahwa seseorang yang cakap berbahasa akan terbantu saat bermatematika.

Bahkan, saat sekadar memahami buku matematika, seseorang dituntut memaknai tiap kalimat sekaligus istilah teknis di dalamnya. Karena itu, masuk akal bahwa kecakapan berbahasa akan membantu seseorang dalam bermatematika.

Ini sekaligus menyangkal mitos kuno yang menyatakan bahwa kemampuan bermatematika terlepas dari kemampuan berbahasa.

Pendapat bahwa seseorang yang cakap berbahasa, tak akan cakap bermatematika, dan sebaliknya, yang cakap bermatematika, tak akan cakap berbahasa, disangkal lewat penelitian ini.

Pada saat yang sama, dugaan kelemahan kecakapan berbahasa sebagai penyebab lemahnya pelajar kita dalam bermatematika dapat digali dari laporan tes internasional bidang matematika seperti TIMSS dan PISA.

Untuk memperoleh dugaan ini, perlu mengkaji laporan tadi dengan mendalam, tak cukup sampai pada pemeringkatan negara saja.

Isu pemeringkatan negara memang menarik untuk bahan bakar perdebatan politik dalam layanan publik, tetapi sejatinya pemeringkatan ini tak berguna dalam merumuskan kebijakan perbaikan pendidikan.

Laporan dan data perlu dikaji secara rinci, khususnya mengenali jenis soal seperti apa yang mudah serta sulit dikerjakan pelajar Indonesia. Dari situ dapat disorot kecakapan atau pengetahuan apa yang kurang dikuasai pelajar, sehingga dapat disusun langkah perbaikannya.

Dalam TIMSS 2011, misalnya, sekitar dua pertiga pelajar kelas VIII kita berhasil mengerjakan sebuah soal aljabar yang bentuknya sudah “siap dilahap” dengan mengganti lambang peubah dengan bilangan yang diberikan, walau sesungguhnya ini bentuk soal abstrak.

Meski demikian, saat menghadapi sebuah soal yang dinarasikan dalam teks, walau tak menuntut keterampilan berhitung sama sekali, hanya sekitar seperempat pelajar kita yang berhasil mengerjakan.

Karena itu, wajar diduga bahwa pelajar kita memiliki kendala membaca dan memaknai narasi dari soal. Dan kendala ini menyulitkannya dalam bermatematika.

Memang berbahasa dalam bermatematika mungkin lebih sulit dibanding berbahasa sehari-hari, karena dalam bermatematika dituntut bahasa teknis. Walau kata dalam bahasa teknis sama dengan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, tapi maknanya kerap jauh berbeda.

Misalnya, contoh soal berikut: “Diketahui bahwa dua akar suatu persamaan kuadrat jumlahnya nol. Apa yang istimewa dari persamaan itu?” Kata “akar” dan “persamaan” memang jamak digunakan dalam perbincangan sehari-hari.

Namun dua kata tadi berbeda makna saat di dalam pelajaran matematika.

Ini berarti bahwa, untuk dapat bermatematika dengan baik, seorang pelajar butuh mampu berbahasa yang baik sekaligus menguasai bahasa teknis matematika.

Dari pembahasan di atas, mendesak lahirnya terobosan inovasi pembelajaran kebahasaan yang memberlatihkan kecakapan membaca untuk memahami teks sekaligus menulis untuk mengungkapkan argumen bernalar.

Dapat dipertimbangkan agar bahan pelajaran bahasa Indonesia setara dengan ELA, yang menekankan kegiatan mengajak anak memahami literatur sastra, menghargai keindahan karya sastra, sekaligus menuliskan pemikirannya.

Sejalan dengan itu, terobosan inovasi pengajaran matematika ke depan juga mendesak dalam menumbuhkan kecakapan berbahasa formal dan menyajikan gagasan.

*******

Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY