“Raden Ajoe Lasmingrat (1843-1948), Perempuan Intelektual Pertama Di Indonesia”.
Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat.
Garut News ( Kamis, 24/04 – 2014 ).

Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah (2009) menulis pernyataan Kartini kepada Ang San Mei, “Tanpa kebebasan berarti juga tanpa ada apa-apa bisa dicapai. Sedang di Priangan sana, katanya lagi, ada seorang wanita muda sudah berhasil mendirikan taman pendidikan seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika namanya (halaman 148).”
Tulisan tersebut mengindikasikan kuat, Raden Ajeng Kartini pun mengakui eksistensi Raden Dewi Sartika.
Sedangkan Raden Dewi Sartika itu, mendapat dorongan dan motivasi dari Raden Ajoe (RA) Lasminingrat guna mendirikan “Sekolah Husus Perempoean” di “Bandoeng”.
Menyusul Raden Ajoe (R.A) Lasminingrat (1843-1948), generasi pertengahan abad ke-19 saat kedudukan sosial perempuan peranannya hanya sebagai ibu rumah tangga, dan kudu berada di belakang suami atawa ayah mereka.
Tetapi kemunculannya yang terlalu dini sebagai perintis kesetaraan gender, atawa sebelum media cetak pribumi lahir di Hindia Belanda ini, menjadi penyebab peranannya mudah dilupakan sejarah.
Bahkan media massa pada zaman itu, tak memberikan ruang leluasa bagi kaum perempuan, kemudian pasca memasuki abad XX, muncul beberapa media massa pribumi seperti “Soenda Berita, Medan Prijaji, Poetri Hindia, Kaoem Moeda”, dan lainnya, berhasil turut andil menyebarkan isu kesetaraan gender.

Demikian diungkapkan Deddy Effendie, Tp.M.Hs kepada Garut News, sebagaimana dia tuturkan dalam tulisan bukunya, “Raden Ajoe Lasmingrat (1843-1948), Perempuan Intelektual Pertama Di Indonesia”.
Buku cetakan pertama April 2011 yang diterbitkan CV. Studio Proklamasi itu, berukuran 14 x 21 cm setebal lebih dari 168 halaman, bersampul foto keluarga R.A.A Wiratanoedatar dan R.A Lasminingrat dari “Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV)”.
Sedangkan latar belakang sampul, Tjarita Erman dan Warnasari Jilid I Karya R.A Lasmingrat, dengan Penata Aksara, Widia Gustiani serta Penyunting, Yulia Sugiarti.
Menurut Deddy Efendie dalam buku tersebut, R.A Kartini yang lahir 21 April 1879, generasi beruntung mendapatkan promosi publikasi sangat memadai, sehingga Bangsa Indonesia sepakat R.A Kartini tokoh emansipasi Wanita Indonesia.
Padahal katanya, jauh sebelum Kartini lahir, Lasmingrat perempuan intelektual pertama Di Indonesia, beliau pada 1860-an belajar ilmu pengetahuan modern, dan 1870-an berkarya melahirkan buku-buku untuk anak-anak sekolah.
Bahkan pada 1903 mendorong Raden Dewi Sartika untuk mendirikan “Sekolah Husus Perempoean” Di “Bandoeng”.
Sebagaimana dikatakan oleh Cora Vreede de Stuers, menyatakan pendapat tentang gerakan perempuan Di Indonesia.
Apabila menyebut pribumi-pribumi wanita sebagai pelopor dalam gerakan hendaknya jangan melupakan perempuan lain yang tidak tersentuh publikasi.
Mereka pun berjuang sama kerasnya untuk menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan modern, katanya.
Guru Besar Studi Asia di Universitas Nanzan Nagoya Jepang, Prof Dr Mikihiro Morayama mengemukakan, Lasminingrat belajar Bahasa Belanda di keluarga Levyssohn Norman dan mendapat perhatian pemerintah.
Buku diluncurkan itu, antara lain dipersembahkan kepada Ibu, manusia Pengawal Peradaban, Etika, Moral dan Budi Pekerti, ungkap Deddy Effendie.
Lasminingrat, Perempoean Garut yang sesungguhnya, Iboe pendidikan di negeri Bernama Indonesia.
*******