Membaca Papua

0
204 views

Amiruddin al-Rahab, Direktur Eksekutif Papua Resource Center

Ilustrator Fotografer : John Doddy Hidayat.

Garut News ( Jum’at, 31/07 – 2015 ).

bandung26Kini saatnya diperlukan membaca ulang Papua. Sebab, hasil bacaan di era Susilo Bambang Yudhoyono mungkin sudah ada yang tidak relevan lagi, karena hadirnya pernyataan-pernyataan dan kenyataan-kenyataan baru dari Presiden Joko Widodo serta para menterinya.  

Sebelum masuk ke pernyataan dan kenyataan baru di era Joko Widodo tersebut, perlu diingat ulang satu kenyataan keras mengenai Papua, yaitu adanya platform nasional untuk memberlakukan sistem otonomi khusus (asimetris otonomi) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan diubah dengan UU No. 35/2008 di dua provinsi di Papua.

bandung27Otonomi khusus memberi ruang fiskal yang besar bagi Papua, yaitu dana otonomi khusus dan dana tambahan untuk infrastruktur. Selain itu, diberikan dana bagi hasil atas minyak dan gas dengan komposisi 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Jakarta.

Sementara itu, dalam hasil tambang umum (mineral), Papua mendapat 80 persen, sedangkan Jakarta memperoleh 20 persen.

Di samping itu juga diberikan ruang partisipasi politik yang lebih luas kepada Papua melalui perwakilan dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Serta dipastikan bahwa gubernur dan wakil gubernur wajib orang asli Papua.

Jadi, apa pun kebijakan pemerintah ketika pucuk pemerintahan (Presiden dan kabinet) Indonesia berganti, otonomi khusus bagi Papua adalah kesepakatan nasional yang harus dijalankan.

Sebab, semangat pokok otonomi khusus Papua adalah demi mewujudkan keadilan, melalui pemberdayaan, pengecualian, dan pemihakan kepada orang asli Papua.

Nah, ketika Joko Widodo dan kabinetnya menyusun program-program pembangunan di Papua, apakah nilai-nilai dasar dari otonomi khusus bagi Papua itu menjadi acuan?

bandung28Setelah Joko Widodo dan kabinetnya memerintah selama 9 bulan, yang baru kita lihat adalah gebrakan-gebrakan yang bersifat jangka pendek, dadakan, serta belum tampak garis operasionalnya. Misalnya membuka Papua kepada media dunia dan pembebasan narapidana politik.

Tentu dari dua kebijakan Presiden itu dimunculkan satu ruang politik bagi berbagai kelompok politik di Papua untuk bermanuver dan berkonsolidasi, khususnya kelompok perlawanan.

Hal itu memunculkan dinamika baru dalam khazanah politik Papua, yaitu aktivitas politik adalah aktivitas yang sah untuk dilakoni.

Sementara itu, gebrakan pembangunan untuk membuka lahan perkebunan dan sawah jutaan hektare di sekitar Kabupaten Merauke, lintasan kereta api, jalan dan pelabuhan, serta smelter tambang-program-program bombastis itu-lebih tampak sekadar memfasilitasi investor ketimbang melayani orang asli Papua.

Langkah-langkah infrastruktur besar dan perkebunan besar ini, di Jakarta, tentu berbunyi keoptimistisan dalam membangun Papua. Namun di Papua dapat dibaca sebagai penanda keresahan, sebab seluruh rencana itu lapar tanah.

Bisa saja rakyat dan suku-suku di mana lahan mereka akan menjadi lokasi berbagai proyek besar itu merasa terancam kehilangan ladang dan kebun serta padang buruan, dan mereka tersingkir dari tanah ulayatnya.

Ilustrasi. Kawasan Pegunungan Tengah Papua. (Foto : de Fretes).
Ilustrasi. Kawasan Pegunungan Tengah Papua. (Foto : de Fretes).

Dinamika lain juga hadir dari tak kunjung usainya urusan negosiasi Freeport. Dari urusan smelter sampai perpanjangan izin ekspor, perubahan kontrak karya, serta perubahan luas areal tambang yang dimiliki Freeport.

Pembangunan yang kian mengancam itu kian terasa ketika diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2015 yang berisikan upaya mengeksploitasi sumber daya alam Papua untuk pembangunan.

Bahkan tim kajian sumber daya alam besutan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Perencanaan Nasional yang dibentuk melalui Inpres itu seakan sekadar mewadahi kepentingan untuk urusan Freeport.

Sebab, dalam Inpres itu, tidak ada sama sekali disinggung bagaimana nasib orang asli Papua jika seluruh potensi SDA-nya dieksploitasi.

bandung29Dari beberapa gejala di atas, bacaan mengenai Papua perlu diletakkan dalam simpangan kepentingan elite Papua di satu sisi dan rakyat di arus bawah di sisi lain. Elite melihat pemerintahan Joko Widodo bisa dimanfaatkan untuk memperbesar ruang partisipasi politik.

Untuk itu, keoptimistisan bisa digelorakan ke ruang-ruang partisipasi dalam segala bentuk. Dalam konteks ini, kita bisa melihat munculnya berbagai kegiatan politik dan demonstrasi di beberapa kota di Papua atau di luar Papua.

Sementara itu, di kalangan bawah muncul ruang kosong karena merebaknya virus keresahan. Ruang kosong itu bisa diisi oleh segala jenis kepentingan. Bisa dikatakan saat ini rakyat di akar keladi Papua sedang resah di tengah mengambangnya kebijakan pemerintah.

Ruang kosong keresahan di arus bawah Papua itu juga terdorong membesar oleh menguatnya aktivitas ULMWP (United Liberation Movement West Papua) pasca-pertemuan negara-negara pulau di Pasifik yang memberikan ruang formal kepada mereka.

Selain itu, ruang kosong tersebut mendidih karena diisi para aktor politik yang hendak berpacu dalam pemilihan kepala daerah. Saat ini ada 20 kabupaten/kota di Papua yang ikut pemilihan kepala daerah serentak.

Artinya, hampir 50 persen dari 42 kabupaten/kota mengalami peningkatan aktivitas politik. Ada dua soal dalam pilkada ini yang bisa mengguncang, yaitu permintaan MRP yang ingin semua calon bupati/wakilnya harus orang asli Papua dan diberlakukannya sistem noken dalam pemungutan suara.

Dapat dikatakan, dalam sembilan bulan ini, Papua berada dalam situasi mengambang. Pernyataan politik dari Presiden atau menteri di Jakarta berseliweran di media tanpa ada instisionalisasinya yang pasti dan jelas kapan serta bagaimana ha-hal itu dilaksanakan.

Dalam pembacaan baru atas Papua, perlu diingat, ada dua perangkat yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya, yaitu kepastian penanganan permasalahan Papua dengan membentuk lembaga koordinasi pembangunan yang hadir langsung hari per hari di Papua.

Serta menunjuk pejabat senior setingkat menteri hadir di Papua. Artinya, SBY pernah membuat standar yang cukup tinggi untuk menjalin komunikasi dengan segenap unsur di Papua, baik dalam koridor politik maupun koridor pembangunan.

Saya rasa, tidak ada salahnya gerakan Presiden Joko Widodo yang sudah sangat hebat di Papua itu diinstisionalisasi ke dalam standar penanganan yang lebih baik dari yang pernah dibuat SBY. Serta memperbaiki komunikasi yang hambar antara gubernur dan istana setelah tidak masuknya draf RUU Otsus Plus ke dalam agenda prioritas badan legislatif DPR.

Koordinasi adalah kunci untuk menanganinya. Sebab, koordinasi yang baik akan memberi kepastian. Sedangkan pedoman dasarnya adalah otonomi khusus.

Tanpa koordinasi yang terlembaga dengan baik, segala rencana hebat hanya akan sia-sia di Papua. Bacaan seperti ini semoga berguna.*

********

Kolom/artikel Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here