
Kamis 03 Oct 2019 14:12 WIB
Red: Karta Raharja Ucu

“Batik menjadi nilai tambah untuk Indonesia menghadapi persaingan global”
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sintong Arfiyansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Setiap tanggal 2 Oktober, Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Peringatan ini dimulai ketika batik memperoleh pengakuan dunia dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) satu dasawarsa yang lalu.
Sejak saat itu, batik perlahan tapi pasti mulai dikenal sebagai kebanggaan Indonesia di mata internasional.

Bahkan, dalam acara pertemuan debat terbuka di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 7 Mei 2019, delegasi dari seluruh dunia sengaja menggunakan batik sebagai penghormatan terhadap Indonesia yang menjadi presiden Dewan Keamanan PBB. Hal ini merefleksikan bahwa batik merupakan salah satu simbol kebudayaan Indonesia yang telah diakui oleh dunia. Tidak hanya sebagai simbol kebudayaan Indonesia, ternyata batik juga menjadi salah satu primadona perdagangan pakaian Indonesia di dunia.
Kondisi ini tentu membuat perdagangan pakaian yang berasal dari batik cukup potensial dalam menembus era perang dagang yang hingga kini masih terus berlangsung dan semakin memanas, yang melibatkan Cina dan Amerika Serikat (AS).
Momentum perayaan Hari Batik Nasional seperti ini, dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan akibat tersendatnya perdagangan antara dua raksasa AS-Cina dengan meningkatkan ekspor tekstil batik yang juga menjadi salah satu keunggulan Indonesia dalam perdagangan internasional.
Kondisi ini terlihat dari capaian nilai ekspor batik pada 2018 yang mencapai 52,44 juta dolar AS atau mencapai Rp 734 miliar. Kementerian Perindustrian menargetkan, ekspor batik pada 2019 tumbuh enam hingga delapan persen dari capaian tahun 2018. Ini sebuah angka yang cukup menjanjikan apabila dibanding dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum mampu beranjak dari angka lima persen ataupun proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang hanya mencapai 3,2 persen pada tahun 2019.
Batik adalah bagian dari produk tekstil sehingga dapat dimanfaatkan untuk merebut pasar pakaian dunia. Potensi perdagangan pakaian dunia saat ini, mencapai 442 miliar dolar AS sehingga peluang besar terbuka lebar bagi industri ini.
Semenjak diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia, ekspor batik terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tujuan utama ekspor batik adalah negara-negara maju, seperti AS, Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan negara Eropa lainnya.
Negara-negara yang umumnya adalah negara maju tersebut menyukai produk batik asal Indonesia karena keunikannya. Hal ini tentu menjadi salah satu keunggulan bagi Indonesia. Batik yang menjadi salah satu warisan dunia, semakin menjadi nilai tambah bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan dagang global.
Tantangan dan strategi
Terdapat berbagai tantangan dalam industri batik. Salah satunya adalah sorotan terhadap bahan baku kain batik. Ternyata bahan baku untuk membuat kain batik, yaitu benang dan kain umumnya masih mengimpor.
Bahkan, 90 persen benang katun untuk membuat batik tradisional, masih bergantung pada negara lain melalui mekanisme impor. Hal ini cukup ironis, mengingat salah satu strategi pemerintah menghadapi perang dagang adalah meminimalisasi angka impor.
Ketersediaan benang dan kain lokal, ternyata tidak dapat menampung kebutuhan industri batik. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk menggenjot sektor industri benang dan kain lokal.
Dengan demikian, para pengrajin batik dapat mendapatkan bahan baku mereka tanpa tergantung terhadap barang impor. Selain itu, langkah-langkah yang dilakukan para pesaing industri pakaian juga harus diperhatikan.
Meskipun menguasai pasar batik dunia, Indonesia tidak dapat bersantai menikmati gelar tersebut. Cina, Singapura, dan Malaysia siap menggeser posisi Indonesia. Cina bahkan mempunyai cara sendiri dalam bersaing.
Berbeda dengan Indonesia yang lebih mengutamakan teknik goresan seniman batik, Cina lebih menyederhanakannya dengan produksi massal melalui teknik printing sehingga menyebabkan biaya produksi jauh lebih murah. Pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA) yang melibatkan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, juga membuat batik produksi Cina membanjiri pasar dalam negeri. Karena itu, dibutuhkan strategi dalam meningkatkan daya saing batik.
Memperkuat industri batik dalam negeri adalah strategi paling utama dalam meningkatkan daya saing. Menjaga kualitas produksi, pengenalan kepada generasi milenial, mengurangi ketergantungan impor bahan baku, dan peningkatan keterampilan batik adalah cara untuk meningkatkan daya saing tersebut.
Apabila industri batik dalam negeri telah berdiri kuat, promosi menjadi strategi penting berikutnya. Batik sudah memasuki pagelaran fashion show di berbagai kota fesyen di dunia, seperti di New York, Milan, dan lain sebagainya. Tentu kondisi tersebut dapat ditingkatkan melalui berbagai macam strategi pemasaran memanfaatkan promosi pada era revolusi Industri 4.0. Kesigapan setiap elemen, baik itu pemerintah, swasta, industri kain, UMKM batik, maupun masyarakat dapat menjadi kunci Indonesia dalam mengarungi era perang dagang yang terus berlangsung.
Posisi batik sebagai warisan budaya dunia, tentu menjadi investasi yang potensial bagi Indonesia untuk meningkatkan sirkulasi perdagangan batik dalam perdagangan internasional. Momentum Hari Batik Nasional, dapat menjadi langkah strategis bagi Indonesia untuk lebih memacu potensi idealnya serta dapat membantu kondisi perekonomian saat ini.
Indonesia kini sedang berjuang untuk memperbaiki neraca perdagangan, meningkatkan devisa negara, dan menguatkan nilai rupiah. Muaranya tentu adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
*******
Republika.co.id