Jakarta, Garut News ( Rabu, 13/11 ).
Gema Hari Pahlawan 10 November menyebabkan saya teringat akan hal ini.
Syahdan, sebelum “Joseph Nicehore Niepce” menyempurnakan temuan fotografi pada awal abad ke-19, dokumentasi tentang perang selalu dilakukan lewat seni lukis.
Ribuan lukisan tentang perang telah dicipta di dunia, untuk kemudian difungsikan sebagai pengingat dan penegas periode sejarah bagi generasi yang lebih muda.
Ada pelukis yang sengaja terjun langsung ke medan perang untuk merekam peristiwa ke dalam kertas atau kanvasnya.
Seperti Johan Fabricius, yang masuk ke kancah pertempuran Austria versus Italia pada 1917-1918.
William Simpson, yang merekam langsung perang Krim 1845-1856 atas perintah kerja media cetak mingguan Illustrated London News dan L’illustration.
Frederic Villiers, yang menyusup ke dalam pemberontakan Mahdi di Sudan.
Melton Prior, yang melaporkan Perang Boer.
Lukisan-lukisan perang itu lantas diabadikan dalam museum untuk disaksikan orang banyak dari berbagai generasi.
Aneka gambaran tentang tekad, niat, dan kekuatan itu pun hadir sebagai aksentuasi peradaban.
Dan menepuk-nepuk kesadaran agar tidak melupakan sejarah, betapapun sejarah itu mungkin mengerikan.
Sebilangan arsip Indonesia menghadirkan fakta bahwa deru-debu perjuangan kemerdekaan Indonesia terekam dalam fotografi, seperti dulu dilakukan oleh IPPHOS.
Namun harus diakui bahwa yang terekam dalam foto hanyalah sebagian kecil dari bungkahan kejadian besar.
Sementara para pelukis Indonesia, yang seharusnya memvisualkan perang, justru terlibat dalam peperangan itu.
Alhasil, mereka kehilangan waktu untuk merekam langsung peristiwa yang pecah di depan matanya.
Dengan demikian, dalam catatan seni rupa, memang sangat sedikit lukisan revolusi yang diciptakan secara on-the-spot, atau semi-on-the-spot.
Dari yang sedikit itu adalah lukisan si bocah Mohamad Toha dan teman-temannya, yang merekam langsung Aksi Pendudukan Belanda 1948 di Yogyakarta.
Lukisan Toha–kala itu ia 11 tahun–tentulah unik dan menggetarkan, sehingga puluhan karyanya lantas dipamerkan di Legermuseum, Delft, Belanda, pada 1992.
Bahkan rekonstruksi peristiwanya dipresentasikan dalam film Een Warrheid Met Vele Gezicheten (Kebenaran dalam banyak wajah).
Sayang, lukisan-lukisan yang tiada duanya di dunia itu, dan pernah dipajang di Museum Dullah di Solo, kini tak jelas berada di mana.
Konon Toha menjualnya kala ia sakit, untuk kemudian meninggal dunia.
Tak banyak pelukis Indonesia yang berhasil merekam langsung perang revolusi seperti Toha.
Tapi tidak sedikit yang berhasil merekonstruksi kisah-kisah perang secara bagus dalam kanvasnya.
Di antaranya adalah Hendra Gunawan lewat Pengantin Revolusi.
S. Sudjojono lewat Seko.
Dullah lewat Persiapan Gerilya.
Made Budi lewat Puputan Badung, Klungkung, Buleleng.
Sochieb lewat lebih dari 100 lukisan ihwal perang 10 November Surabaya.
Juga Dede Eri Supria, lewat Perang Aceh, adikarya yang di dalamnya digambarkan seribu tentara bertempur.
Elok benar apabila membayangkan: ratusan lukisan terbaik tentang perang Indonesia dikumpulkan dalam sebuah museum yang bisa ditonton oleh publik umum.
Museum Revolusi!
Rasanya, apabila Negara serius memfasilitasi segala aspeknya, para kolektor akan dengan lapang hati menaruh koleksinya di sana.
Ya, apalah arti lukisan perang apabila darah, peluh, dan letusan peluru cuma dipingit dalam ruangan.
Dan barangkali saja pengorbanan hidup-mati pejuang revolusi bisa mengetuk hati generasi sekarang untuk malu berkorupsi.
***** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co