“Pelopor Pendidik Sekaligus Sastrawati Era 1870-an”
Garut News ( Jum’at, 22/11 – 2019 ).
Ketua ‘Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah’ (TP2GD) Kabupaten Garut, Ubun Sjachbun katakan ‘Raden Ajoe’ (RA) Lasminingrat (1843-1947) seorang tokoh intelektual perempuan pertama.
Dia merupakan pelopor pendidik bumi putera sekaligus sastrawati pada zaman kolonial Belanda era 1870-an. Dia pun ada sebelum Raden Ajeng Kartini (1879), dan Raden Dewi Sartika (1884) lahir.
Dengan kecerdasan dan karya-karyanya, istri Bupati Garut Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII itu, berjuang meningkatkan kehidoepan bangsa khoesoesnya kesetaraan kaoem perempoean melalui dunia pendidikan.
Pada 1907, bahkan dia berhasil mendirikan sekolah Keoetamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kaboepaten Garut dengan materi pelajaran berupa baca, tulis, dan pemberdayaan perempoean. Kini, sekolah didirikannya menjadi SDN Regol VII dan X.
“Kini, kita berupaya mendorong agar RA Lasminingrat bisa diangkat menjadi Pahlawan Nasional,” imbuh Ubun.
Sedangkan, Haji Hasan Arif (1853-1919) merupakan tokoh utama peristiwa banjir darah di Cimareme Garut (1919). Dia dikenal lantaran penolakannya terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda terkait peraturan penjualan padi kepada Belanda.
Peristiwa tersebut membawa pengaruh besar terhadap perkembangan sejarah Indonesia di awal abad ke-20. Hasan Arif bersama pengikutnya dikepung dan ditembak mati di dalam rumahnya oleh tentara KNIL.
Demikian detail dikemukakannya pada helatan mengenalkan nilai-nilai Kepahlawanan, TP2GD pun memutarkan film dokumenter ‘Tiga Tokoh Daerah’.
Guna memupuk rasa cinta Tanah Air juga mengenalkan nilai-nilai kepahlawanan nasional, sedangkan Sosok para tokoh daerah itu RA Lasminingrat, H Hasan Arif Cimareme, dan Pangeran Madrais dikenalkan kepada para generasi muda.
Berlangsung di lantai dua aula Gedung KNPI Garut Jalan Ahmad Yani, Kamis (20/11-2019) yang dihadiri ratusan pelajar SMP, kalangan veteran, serta tamu undangan. Mereka tampak antusias menyimak penayangan ketiga film besutan Studio Seni Proklamasi masing-masing berdurasi 30 menit.
Ubun Sjachbun mengharapkan pula, pemutaran film perjoeangan ketiga tokoh berpengaroeh itu dapat memberikan edukasi. Setidaknya, dari penayangan film tersebut bisa memupuk, menggugah semangat, serta kecintaan generasi sekarang terhadap bangsa, dan Tanah Airnya untuk kehidupan mendatang yang lebih baik.
“Mengenai film Pangeran Madrais kita tampilkan, guna mengenalkan tokoh ini juga seorang pahlawan yang berjuang tidak melalui senjata melainkan budaya. Dia sempat masantren di Banyuresmi dan beristri orang Garut. Ada kontroversi yang sebenarnya pembunuhan karakter oleh Belanda terhadap Pangeran Madrais,” ungkap Sekretaris TP2GD Dedi Efendi.
Pangeran Madrais (1870-1935), tokoh sarat kontroversi pencetus agama Jawa Sunda atau Soenda Wiwitan. Putra Pangeran Soetadjaja Alibassa Koesoemah Widjajaningat alias Pangeran Kesoeltanan Gebang Cirebon itu, aslinya bernama Sadewa kemudian diganti bernama Muhammad Rais. Karena dinilai terlalu panjang, belakangan orang memanggilnya dengan sebutan Madrais.
Dia disebut-sebut terlibat pemberontakan terhadap Belanda di Tambun Bekasi pada 1869. Dia juga bermukim dan memusatkan penyebaran ajarannya di Cigugur Kuningan.
Pada 6 Oktober 1926, terbit rekomendasi pemerintah Hindia Belanda berkaitan diterimanya ajaran Madrais sebagai agama baru bernama Agama Djawa Soenda Pasoendan.
Belakangan, ajaran itu dikenal dengan nama Agama Djawa Soenda. Ajaran Madrais merupakan perpaduan antara ajaran peribadatan, kebatinan, filosofis, dan budaya masyarakat Djawa dan Soenda tempo doeloe.
*******
(Abisyamil, JDH/Fotografer : John Doddy Hidayat).