“Pelopor Pendidik Sekaligus Sastrawati”
Garutnews ( Selasa, 13/09 – 2022 ).
Almarhum Ubun Sjachbun selaku Ketua ‘Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah’ (TP2GD) Kabupaten Garut, pernah katakan ‘Raden Ajoe’ (RA) Lasminingrat (1843-1947) seorang tokoh intelektual perempuan pertama.
Dia pelopor pendidik bumi putera sekaligus sastrawati pada zaman kolonial Belanda era 1870-an.
Dia pun ada sebelum Raden Ajeng Kartini (1879), dan Raden Dewi Sartika (1884) lahir.
Namun dengan kecerdasan dan karya-karyanya, istri Bupati Garut Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII itu, berjuang meningkatkan kehidoepan bangsa khoesoesnya kesetaraan kaoem perempoean melalui dunia pendidikan.
Pada 1907, bahkan dia berhasil mendirikan sekolah Keoetamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kaboepaten Garut bermateri pelajaran berupa baca, tulis, dan pemberdayaan perempoean. Kini, sekolah didirikannya menjadi SDN Regol VII dan X.
“Kita berupaya mendorong agar RA Lasminingrat bisa diangkat menjadi Pahlawan Nasional,” imbuh Ubun.
Sedangkan, Haji Hasan Arif (1853-1919) merupakan tokoh utama peristiwa banjir darah di Cimareme Garut (1919). Dia dikenal lantaran penolakannya terhadap kesewenangan pemerintah Kolonial Belanda terkait peraturan penjualan padi kepada Belanda.
Peristiwa tersebut membawa pengaruh besar terhadap perkembangan sejarah Indonesia di awal abad ke-20. Hasan Arif bersama pengikutnya dikepung dan ditembak mati di dalam rumahnya oleh tentara KNIL.
Demikian detail dikemukakannya pada helatan mengenalkan nilai-nilai Kepahlawanan, TP2GD pun memutarkan film dokumenter ‘Tiga Tokoh Daerah’.
Guna memupuk rasa cinta Tanah Air juga mengenalkan nilai-nilai kepahlawanan nasional, sedangkan Sosok para tokoh daerah itu RA Lasminingrat, H Hasan Arif Cimareme, dan Pangeran Madrais dikenalkan kepada para generasi muda.
Berlangsung di lantai dua aula Gedung KNPI Garut Jalan Ahmad Yani, Kamis (20/11-2019) silam dihadiri ratusan pelajar SMP, kalangan veteran, serta tamu undangan. Mereka antusias menyimak penayangan ketiga film besutan Studio Seni Proklamasi masing-masing berdurasi 30 menit.
Ubun Sjachbun mengharapkan pula, pemutaran film perjoeangan ketiga tokoh berpengaroeh ini mengedukasi. Setidaknya, dari penayangan film ini dapat memupuk, menggugah semangat, serta kecintaan generasi sekarang terhadap bangsa, dan Tanah Airnya untuk kehidupan mendatang yang lebih baik.
“Mengenai film Pangeran Madrais kita tampilkan, guna mengenalkan tokoh tersebut juga seorang pahlawan yang berjuang tidak melalui senjata melainkan budaya. Dia sempat masantren di Banyuresmi dan beristri orang Garut. Ada kontroversi yang sebenarnya pembunuhan karakter oleh Belanda terhadap Pangeran Madrais,” ungkap Sekretaris TP2GD Dedi Efendi.
Pangeran Madrais (1870-1935), tokoh sarat kontroversi pencetus agama Jawa Sunda atau Soenda Wiwitan. Putra Pangeran Soetadjaja Alibassa Koesoemah Widjajaningat alias Pangeran Kesoeltanan Gebang Cirebon.
Aslinya bernama Sadewa kemudian diganti bernama Muhammad Rais. Karena dinilai terlalu panjang, belakangan orang memanggilnya dengan sebutan Madrais.
Dia disebut-sebut terlibat pemberontakan terhadap Belanda di Tambun Bekasi pada 1869. Dia juga bermukim dan memusatkan penyebaran ajarannya di Cigugur Kuningan.
Pada 6 Oktober 1926, terbit rekomendasi pemerintah Hindia Belanda berkaitan diterimanya ajaran Madrais sebagai agama baru bernama Agama Djawa Soenda Pasoendan.
Belakangan, ajaran itu dikenal dengan nama Agama Djawa Soenda. Ajaran Madrais merupakan perpaduan antara ajaran peribadatan, kebatinan, filosofis, dan budaya masyarakat Djawa dan Soenda tempo doeloe.
“Torehan Puisi Perempuan Intelektual Pertama Indonesia”
Torehan sejumlah bait puisi detail dibacakan sarat penghayatan sangat mendalam oleh Witi Restuning Pangestuti, S. Pd ternyata bisa semakin “menggedor” kalangan relawan berkepedulian tinggi masif mengusung nilai adi luhung jasa kepahlawanan dimiliki “Raden Ajoe” (R.A) Lasmingrat.
Lantaran kian diyakini ketokohannya sebagai “Perempuan Intelektual Pertama di negeri Bernama Indonesia”.
Pada helatan mendeklarasikan kembali mengusung R.A Lasminingrat menjadi Pahlawan Nasional tersebut, diapresiasi positip Dedi Mizwar dan menyatakan saatnya menuntaskan ragam dokumen yang dipastikan menjadikan tokoh perempuan asal Kabupaten Garut ini menjadi Pahlawan Nasional.
Ungkapan senada dikemukakan pula Wakil Bupati setempat, dr H. Helmi Budiman di Komplek SDN Regol VII – X Jalan Ranggalawe Kecamatan Garut Kota, Senin (10/04-2017) silam.
Hj. Rani Permata Dicky Candra pun antara lain mengemukakan, Deklarasi mengusung ketokohan R.A Lasminingrat menjadi Pahlawan Nasional tertumpu harapan bisa segera terpenuhi, setelah beberapa tahun sebelumnya juga dilaksanakan upaya serupa.
Sehingga momentum sekarang minimal bisa dikukuhkannya wahana pembelajaran kini menjadi SDN Regol menjadi “Cagar Budaya” sebagai bukti sejarah perjuangannya, serta harapan terdapatnya lintasan ruas Jalan R.A Lasminingrat, menyusul Kota Garut pun telah memiliki Gedung Wanita R.A Lasminingrat.
Witi Restuning Pangestuti katakan, rangkaian puisi dibacakannya tersurat sejarah singkat perjalanan ketokohan perempuan tersebut dalam membangun dunia pendidikan di Garut.
“Seketika sedih manakala terbayang ‘Toko Serba Ada’ (Toserba) yang dahulunya rumah R.A Lasminingrat, sehingga kini salah satu episode jejak sejarah pupus”, ungkapnya.
Namun dengan helatan deklarasi ini, masih tertumpu “asa” dapat membangkitkan kembali semangat menjaga aset, dan Sejarah Garut, imbuhnya.
Pramoedya Ananta Toer pun dalam Jejak Langkah (2009) menulis ;
Pernyataan Kartini kepada Ang San Mei, “Tanpa kebebasan berarti juga tanpa ada apa-apa bisa dicapai. Sedang di Priangan sana, katanya lagi, ada seorang wanita muda sudah berhasil mendirikan taman pendidikan seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika namanya (halaman 148).”
Tulisan tersebut mengindikasikan kuat, Raden Ajeng Kartini pun mengakui eksistensi Raden Dewi Sartika.
Sedangkan Raden Dewi Sartika itu, mendapat dorongan dan motivasi dari Raden Ajoe (RA) Lasminingrat guna mendirikan “Sekolah Husus Perempoean” di “Bandoeng”.
Menyusul Raden Ajoe (R.A) Lasminingrat (1843-1948), generasi pertengahan abad ke-19 saat kedudukan sosial perempuan peranannya hanya sebagai ibu rumah tangga, dan kudu berada di belakang suami atawa ayah mereka.
Tetapi kemunculannya yang terlalu dini sebagai perintis kesetaraan gender, atau sebelum media cetak pribumi lahir di Hindia Belanda ini, menjadi penyebab peranannya mudah dilupakan sejarah.
Bahkan media massa pada zaman itu, tak memberikan ruang leluasa bagi kaum perempuan, kemudian pasca memasuki abad XX, muncul beberapa media massa pribumi seperti “Soenda Berita, Medan Prijaji, Poetri Hindia, Kaoem Moeda”, dan lainnya, berhasil turut andil menyebarkan isu kesetaraan gender.
Demikian diungkapkan Deddy Effendie, Tp.M.Hs sebagaimana dia tuturkan dalam tulisan bukunya, “Raden Ajoe Lasmingrat (1843-1948), Perempuan Intelektual Pertama Di Indonesia”.
Buku cetakan pertama April 2011 yang diterbitkan CV. Studio Proklamasi itu, berukuran 14 x 21 cm setebal lebih dari 168 halaman, bersampul foto keluarga R.A.A Wiratanoedatar dan R.A Lasminingrat dari “Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV)”.
Sedangkan latar belakang sampul, Tjarita Erman dan Warnasari Jilid I Karya R.A Lasmingrat, dengan Penata Aksara, Widia Gustiani serta Penyunting, Yulia Sugiarti.
Menurut Deddy Efendie dalam buku tersebut, R.A Kartini yang lahir 21 April 1879, generasi beruntung mendapatkan promosi publikasi sangat memadai, sehingga Bangsa Indonesia sepakat R.A Kartini tokoh emansipasi Wanita Indonesia.
Padahal katanya, jauh sebelum Kartini lahir, Lasmingrat perempuan intelektual pertama Di Indonesia, beliau pada 1860-an belajar ilmu pengetahuan modern, dan 1870-an berkarya melahirkan buku-buku untuk anak-anak sekolah.
Bahkan pada 1903 mendorong Raden Dewi Sartika untuk mendirikan “Sekolah Husus Perempoean” Di “Bandoeng”.
Sebagaimana dikatakan oleh Cora Vreede de Stuers, menyatakan pendapat tentang gerakan perempuan Di Indonesia.
Apabila menyebut pribumi-pribumi wanita sebagai pelopor dalam gerakan hendaknya jangan melupakan perempuan lain yang tidak tersentuh publikasi.
Mereka pun berjuang sama kerasnya untuk menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan modern, katanya pula.
Guru Besar Studi Asia di Universitas Nanzan Nagoya Jepang, Prof Dr Mikihiro Morayama mengemukakan, Lasminingrat belajar Bahasa Belanda di keluarga Levyssohn Norman dan mendapat perhatian pemerintah.
“Buku diluncurkan itu, antara lain dipersembahkan kepada Ibu, manusia Pengawal Peradaban, Etika, Moral dan Budi Pekerti,” ungkap Deddy Effendie.
Lasminingrat, Perempoean Garut yang sesungguhnya, Iboe pendidikan di negeri Bernama Indonesia. Ia wafat pada 10 April, juga diharapkan dijadikan momentum senantiasa mengenang. Sekaligus memeringati jasanya menjadikan kaum intelektual perempuan.
“Mendidik seorang perempuan sama halnya mendidik satu generasi, sedangkan mendidik seorang laki-laki adalah mendidik dirinya sendiri” (Kofi Annan, mantan Sekjen PBB).
******
Esay/Fotografer : Abah John.