Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 21/12 – 2015 ).
Kisruh ojek dan taksi online, yang sempat diberangus Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, terjadi akibat keterlambatan pemerintah menjawab perubahan zaman.
Sesungguhnya masalah ini belum selesai dengan turun tangannya presiden menganulir pelarangan itu. Tanpa penyelesaian mendasar, larangan serupa bisa saja kembali terjadi.
Larangan atas transportasi alternatif ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Dua regulasi ini mengharamkan kendaraan beroda dua dan mobil berpelat nomor hitam menjadi angkutan umum.
Ini bukan larangan pertama dari pemerintah. Sebelumnya, polisi berkali-kali merazia dan mengandangkan taksi Uber layanan antar menggunakan mobil berpelat nomor hitam berbasis aplikasi. Alasannya, taksi ini tak berizin.
Menteri Jonan pada 9 November lalu juga menyurati Kepala Polri agar menindak Uber dan Go-Jek jasa antar memakai sepeda motor karena tidak sesuai dengan ketentuan.
Di sisi lain, pemerintah seperti merestui kehadiran mereka. Saat berkunjung ke Amerika Serikat, Oktober lalu, Presiden mengajak Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, ikut dalam rombongan.
Jokowi menghargai inisiatif Nadiem yang mengembangkan aplikasi Go-Jek dengan mengajaknya bertemu dengan para jawara teknologi Internet di Lembah Silikon. Di Jakarta, Gubernur Basuki Tjahja Purnama juga “merestui” Go-Jek berintegrasi dengan busway.
Go-Jek, GrabBike, GrabTaxi, Lady-Jek, dan Uber adalah model bisnis baru yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi Internet. Model bisnis yang disebut “sharing economy” seperti ini tak terjangkau regulasi mengenai transportasi.
Fenomena yang tak hanya terjadi di Indonesia inilah yang semestinya diantisipasi, bukannya dilarang dengan alasan tak sesuai dengan regulasi.
Model sharing economy tak hanya membuka semua sekat bisnis konvensional, tapi juga membawa peluang baru yang sebelumnya tak terbayangkan. Model bisnis ini mampu menciptakan lapangan kerja alternatif serta memberi pilihan transportasi yang murah dan praktis.
Di tengah kondisi sulitnya lapangan pekerjaan, plus terbatasnya sarana transportasi memadai, Go-Jek, Uber, Grab, dan sejenisnya merupakan jawaban yang dibutuhkan masyarakat. Melarang mereka dengan alasan mengganggu eksistensi bisnis resmi yang konvensional bukanlah dalih yang tepat.
Jika itu alasannya, betapa banyak moda transportasi yang tak sesuai dengan regulasi selama ini dibiarkan. Sejak dulu sudah ada ojek tradisional, jasa kurir bersepeda motor, bahkan persewaan mobil berpelat hitam.
Itu sebabnya, sudah waktunya pemerintah menyesuaikan regulasi yang ada dengan perkembangan baru ini. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan harus diubah agar moda transportasi baru ini terakomodasi. Perlu juga dibuat regulasi baru agar pengelola bisnis berbasis aplikasi ini bisa dikenai pajak.
*******
Opini Tempo.co