Lakum Dinukum Waliyadin

Lakum Dinukum Waliyadin

727
0
SHARE
Asma Nadia. (Foto: Republika/Daan).

Senin 26 Aug 2019 12:54 WIB
Red: Karta Raharja Ucu

Ilustrasi. Al Qur’an Sumber Kebenaran. (Foto: John Doddy Hidayat).

“Kaum Muslimin menjalankan fungsinya dengan baik sebagai rahmatan lil ‘alamin”

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Ini kisah sebuah negeri di balik awan. Sekalipun dihuni beragam suku dan budaya, penduduknya hidup damai dan tenteram. Walau masyarakatnya memeluk agama berbeda, suasananya selalu rukun dan bersahabat.

Kaum Muslimin yang menjadi mayoritas di negeri tersebut menjalankan fungsinya dengan baik sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mereka melindungi minoritas untuk menjalankan agama masing-masing. Tentu saja percik masalah kadang muncul, tapi sama sekali tidak mengganggu secara keseluruhan.

Akan tetapi, akhir-akhir ini merebak tren baru yang mengusik ketenangan. Satu per satu ulama dan umat diperkarakan ke pihak hukum atas berbagai kasus dengan pasal sama, penghinaan agama. Awalnya seorang muazin dilaporkan ke petugas keamanan oleh pemeluk agama lain. Mengapa muazin ini dilaporkan? Apa penghinaan yang dilakukan?

Ilustrasi. Foto : John Doddy Hidayat.

Jari-jemari sang petugas keamanan menggantung menunggu jawaban, siap mengetik keluhan yang ingin disampaikan. Begini, Pak Muazin di akhir azan selalu mengatakan Laa ilaha illa Allah–yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Mendengar jawaban sang pelapor, petugas masih belum mengerti.

Jadi, penghinaannya, di mana? Sang pelapor menghela napas lalu melanjutkan. Dengan ucapan tidak ada Tuhan selain Allah berarti muazin menghina agama kami. Sama saja dia bilang hanya Allah Tuhan dan Tuhan kami bukan Tuhan. Petugas mencoba menyelami alam pikiran pelapor. Tak mudah.

Apakah Saudara sebagai bukan Muslim menganggap Allah itu Tuhan? Yang ditanya diam saja, tapi pendamping hukumnya memberi sanggahan. Bapak Petugas, klien saya ini cuma pelapor, bukan tersangka. Jadi, mohon jangan ditanya yang di luar materi pelaporan.

Mendengar jawaban itu, sang petugas mengangguk dan mulai mengetik jawaban yang dia dengar, walau memendam keheranan. Dia masih belum mengerti di mana letak penghinaannya. Namun, toh ini bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Di tempat lain seorang imam shalat dilaporkan ke petugas keamanan.

Ini imam mengapa dilaporkan? tanya petugas. Sang pelapor dengan lugas menyatakan, Imam ini berkata Allahu Akbar, Pak. Pertanyaan mirip juga diajukan sang petugas. Lalu penghinaannya di mana? Dengan dia mengatakan Allah yang Mahabesar berarti dia menghina Tuhan-Tuhan kami dan Tuhan agama lain. Mereka sama saja mengatakan Tuhan kami kecil.

Dengan wajah masih diliputi kebingungan, petugas tersebut lalu mencatat penuturan pelapor. Tidak berhenti di sana, laporan lain pun berdatangan. Salah satu kasus yang dilaporkan terkait seorang ustaz. Dialog serupa berlangsung. Mengapa ustaz ini dilaporkan? Dia mengutip Quran Pak, bunyinya ‘Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam’.

Dahi sang petugas yang menerima laporan, berkerut. Lalu di mana penghinaannya? Wajah pelapor spontan memerah. Lho itu kan sama saja mengatakan agama lain sesat, termasuk agama saya.

Ilustrasi. Foto : John Doddy Hidayat.

Ah…. Begitulah fenomena lompat pagar yang terjadi. Laporan demi laporan yang kurang lebih mirip atau senada masuk ke petugas keamanan. Polanya sama. Umat agama lain menuntut umat atau ulama agama Islam sesuatu yang terkait dengan ajaran agama Islam.

Sesuatu yang bersifat internal dan pribadi, yang berada pada wilayah berbeda. Fenomena ini jelas mengganggu kerukunan, masalah yang sebenarnya sederhana menjadi polemik nasional. Akhirnya sebelum semua laporan dilanjutkan ke pengadilan, kantor petugas keamanan nasional mengadakan pertemuan.

Dalam rapat luar biasa itu, mereka menyimpulkan bahwa setiap agama punya kebebasan menjalankan ajarannya masing-masing, termasuk meyakini agama yang dijalankannya adalah agama yang benar. Sepanjang itu adalah kegiatan internal, ibadah pribadi, tidak boleh pihak agama lain mencampuri.

Kecuali ada tokoh agama yang meneriakkan ajaran agamanya di wilayah agama lain atau tidak pada tempatnya. Ini harus ditegaskan agar tidak berlarut-larut. Demi ketertiban dan keamanan akhirnya diputuskan bersama untuk mengabaikan semua laporan sebab dianggap tidak memenuhi persyaratan. Keputusan penting ini juga disetujui kepala pemerintahan negeri.

Semua mengerti bahwa sebaiknya pemeluk agama lain tak boleh mencampuri urusan/dakwah/nasihat agama lainnya jika hal itu dilakukan di hadapan umatnya sendiri dan di tempatnya sendiri. Tak ada yang boleh lompat pagar lagi.

Syukurlah dengan penanganan cepat dan tepat serta terpadu dari bawah sampai puncak pemerintahan, tren lapor-melaporkan terkait agama lain berangsur senyap. Negeri yang terkenal dengan kerukunan masyarakatnya kembali damai, tenteram seperti sediakala.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY