Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 27/05 – 2016 ).

Status layak investasi (investment grade) yang disematkan Fitch Ratings kepada surat utang Indonesia patut dihargai. Tapi sebaiknya pemerintah tak hanya menunggu pemilik modal menyambangi negeri ini. Banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan pemerintah agar investor benar-benar mampir.
Fitch Ratings menetapkan peringkat Indonesia pada level layak investasi pada Mei 2016. Fitch menilai negara kita termasuk layak investasi karena beban utang pemerintah rendah, yakni 26,8 persen dari produk domestik bruto. Adapun prospek pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan mencapai 5,1 persen dan risiko terhadap sektor perbankan terbatas.
Salah satu tunggakan pekerjaan pemerintah yang belum beres adalah memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia yang pada tahun ini masih bertengger di peringkat ke-109. Posisi itu jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Brunei Darussalam (ke-84), Thailand (ke-49), atau Malaysia (ke-18).
Poin yang membuat Indonesia kedodoran di mata Bank Dunia sebagai pemberi peringkat adalah kemudahan memulai bisnis (starting business). Tahun lalu, peringkat kemudahan berbisnis di negara ini masih berada di posisi ke-163. Tahun ini melorot menjadi ke-173. Poin minus lainnya adalah ketersediaan pasokan listrik.
Pemerintah sudah berupaya mempermudah izin usaha dengan mengeluarkan 12 paket kebijakan ekonomi secara bertahap sejak tahun lalu. Sayangnya, bagi pengusaha, upaya tersebut dianggap tidak cukup. Sulitnya pembebasan lahan untuk membuka usaha, yang wewenangnya ada di pemerintah kabupaten dan kota, masih menjadi momok. Kendala pembebasan lahan juga menghantui proyek-proyek jalan dan pembangkit listrik.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2016 yang meleset dari targethanya 4,92 persen dari target 5,3 persenjuga mesti menjadi peringatan dini. Sebab, setelah ditelusuri, lemahnya pertumbuhan ekonomi dipicu oleh rendahnya penyerapan belanja pemerintah. Penyakit lama rupanya kambuh lagi. Sempat dikebut pada Januari, penyerapan belanja pemerintah kembali kendur pada bulan-bulan berikutnya.
Perilaku pemerintah daerah yang gemar mengendapkan dana pembangunan di perbankan juga belum sembuh. Hingga akhir April lalu, jumlah uang anggaran daerah yang berumah di bank daerah mencapai Rp 220 triliun. Presiden Joko Widodo pun berang karena nyaris tak ada belanja modal ataupun barang yang dilakukan pemerintah daerah dalam periode tersebut.
Tak akan selesai dengan hanya marah-marah, Presiden dituntut untuk mendorong birokrasi pusat dan daerah bergerak. Kucurkan belanja modal dan barang pemerintah secepatnya.
Dari sisi permintaan, daya beli masyarakat wajib dijaga melalui pengendalian laju inflasi. Tanpa pembenahan di semua sektor, label layak investasi itu tak akan bisa dimanfaatkan secara maksimal.
********
Opini Tempo.co