Kurikulum bagi Raksasa

Kurikulum bagi Raksasa

737
0
SHARE

Iwan Pranoto,
Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi

Garut News ( Kamis, 18/12 – 2014 ).

Ilustrasi. Seragam Berbaris Mentok Pada Pantat Mobil. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Seragam Berbaris Mentok Pada Pantat Mobil. (Foto : John Doddy Hidayat).

Dari empat negara berpenduduk terbesar, yaitu Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Indonesia, negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional.

Bahkan, standar CCSS (Common Core State Standards) yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian.

Standar CCSS ini pun sementara baru mencakup mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris saja.

Para pendidik AS berpendapat bahwa standar CCSS ini dan, khususnya, ujiannya membuka peluang terjadinya penyeragaman pendidikan dan anak didik.

Dan, hal ini bertentangan dengan kebebasan individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.

Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional, apalagi kurikulum nasional. Di negeri ini keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum Framework, yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training.

Seperti Sekolah Riverside di Ahmedabad, di negara bagian Gujarat di India, yang didirikan oleh edukator Kiran Bir Sethi, para guru bersama kepala sekolah merancang kurikulum setiap mata pelajaran sendiri untuk jenjang SD dan SMP.

Adapun untuk jenjang SMA, sekolah ini menggunakan kurikulum yang disesuaikan untuk sistem Cambridge.

Tiap sekolah negeri pun berhak merancang kurikulumnya sendiri. Sementara itu, setiap negara bagian memiliki sejumlah dewan pendidikan yang masing-masing menawarkan standar.

Sekolah negeri maupun swasta di India bebas memilih mengikuti dewan pendidikan yang mana atau memilih standar yang lain. Ujian di tingkat SMA nanti akan mengikuti standar yang sudah dipilih.

Adapun Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasional untuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya.

Meski demikian, yang disebut satu kurikulum nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus “kadar”-nya sejak 1993 untuk jenjang SD dan SMP.

Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya sembilan mata pelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik, bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan.

Sekolah juga harus memberi pelajaran bahasa asing, tapi siswa boleh memilih bahasanya. Kemudian, untuk jenjang SMP, ada 13 mata pelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah pusat.

Kemudian, SMA-nya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, bahkan setiap siswa dapat merencanakan pendidikan SMA-nya sendiri.

Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu, sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, pemaksaan kurikulum tunggal untuk negara berpenduduk besar sungguh meragukan.

Pada Abad ke-21 ini, saat nilai-nilai lokal mengglobal, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah.

Kebudayaan lokal yang beraneka ragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanya Indonesia memiliki karakter geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah keanekaragam.

Karena itu, proses belajar-mengajar dan, khususnya, kurikulum bagi anak-anak kita di berbagai pelosok Tanah Air perlu luwes agar pendidik/sekolah dapat mengadaptasi program belajar-mengajarnya untuk kebutuhan kecakapan anak khusus di daerah itu.

Keunikan lokal ini harus eksplisit dirumuskan dan diilustrasikan dalam desain pembelajaran.

Ke depan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan tidak lagi memaksakan satu kurikulum tunggal dan sebangun pada semua sekolah dari Pulau Biak sampai Pulau Nias, dari Sungai Memberamo sampai Sungai Siak.

Seperti tiga negara raksasa sebelumnya, penduduk Indonesia luar biasa banyak dan tersebar. Sungguh pemikiran yang kurang matang jika memaksakan satu seri buku ajar tunggal untuk semua sekolah di negara besar ini.

Walau terganggu saat kebijakan Kurikulum 2013 dipaksakan, konsep keanekaragaman kurikulum itu sudah digagas dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) lebih dari satu dekade lalu.

Semoga Kementerian Pendidikan baru meneruskan jiwa keanekaragaman pendidikan di UU Sisdiknas tersebut.

Kementerian Pendidikan, khususnya Puskurbuk-Balitbang, perlu mulai mereka-cipta kerangka kurikulum yang dapat digunakan untuk menjadi panduan yang memudahkan sekolah dalam merumuskan kurikulum yang sesuai dengan keunikan daerah, geografis, dan kebudayaannya.

Dengan kurikulum sekolah yang relevan dengan kedaerahan dan kehidupan, para pelajar akan meningkatkan dorongan belajar dari dalam diri.

Pelajaran di sekolah semakin terkait dengan kehidupan di lingkungannya. Hal ini akan menjauhkan citra buruk belajar sebagai beban, bukan berkat.

Tantangan dan strategi mendidik raksasa tentu berbeda dibanding mendidik negara kecil berpenduduk sedikit dengan lokasi geografis homogen.

*******

Kolom/Artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY