Sabtu 15 Des 2018 11:57 WIB
Red: Elba Damhuri
“Mereka sibuk mencari kambing hitam atas tercecernya KTP elektronik ini”
REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia
Wajahnya begitu semringah sewaktu mendatangi kelurahan untuk melakukan pemotretan KTP elektronik, scan biometric, dan pengambilan sidik jari.
Maka, pertanyaan yang kemudian menjadi rutin kami dengar darinya adalah, “Sudah jadi KTP-nya?”
Hari pertama saya jawab dengan gelengan.
Sebulan kemudian ananda masih bertanya, “Kapan jadi KTP-nya?”
“Mungkin sebentar lagi,” ujar saya mencoba menenangkan.
Namun, hingga setahun berlalu, dan Adam sudah melewati ulang tahun kedelapan belas beberapa bulan, sampai saat ini KTP-yang dirindukannya, belum juga terlihat wujudnya.
“Masih menunggu dari pusat.”
Begitu tanggapan yang kami terima setiap kali menanyakan kapan KTP bisa diambil.
Sekalipun keterlambatan KTP-el bisa tergantikan resi KTP, tentu saja banyak kesulitan administratif yang harus dilalui oleh anak-anak, seperti bungsu saya yang sampai sekarang belum mempunyai KTP.
Karena itu, membaca berita ditemukannya ribuan KTP tercecer sungguh membuat hati miris. Bagaimana mungkin ada ribuan anak atau bahkan jutaan anak yang menanti dengan sabar, atau terpaksa sabar seraya mengelus dada, KTP-el mereka yang tak juga selesai, sementara di tempat lain puluhan ribu kartu tercecer sia-sia.
Ada yang saya tidak mengerti sebenarnya. Mengapa dokumen kependudukan yang begitu penting bisa jatuh dari mobil. Mengapa diangkut dengan kendaraan bak terbuka? Bukankan seharusnya dokumen ini dibawa dan dikawal secara sakral, sekalipun untuk dimusnahkan. Lalu, mengapa pula di Bogor? Mengapa pula KTP-nya milik penduduk Sumatra? Ada apa?
Belum lagi keheranan saya terjawab, muncul berita KTP-el ditemukan di tempat sampah. Dibuang bersama kardus dan barang sisa lainnya. Astaga! Apakah tidak ada pencatatan atau tempat khusus pemusnahan KTP?
Dan, yang lebih membuat tidak dimengerti, ternyata dari penelusuran KTP yang tercecer bukan sekadar masih berlaku, melainkan ditunggu-tunggu si pemilik nama. Fakta ini mematahkan argumentasi yang mengungkap alasan KTP tercecer adalah KTP yang dicetak ulang karena masa berlaku habis.
Berbagai jawaban lain diungkap, tetapi fenomena ini jelas meresahkan.
Pertama, KTP-el yang tercecer sangat rawan disalahgunakan. Secara politik tidak mustahil ribuan KTP ini bisa digunakan untuk verifikasi pendaftaran partai politik. Bahkan, tidak mustahil digunakan untuk pemilihan umum.
Kedua, kaum kriminal bisa menggunakan KTP ini untuk kejahatan. Identitas orang lain dipakai untuk penipuan, pendaftaran bank untuk tujuan ilegal. Bahkan, tidak mustahil digunakan untuk kejahatan terorisme.
Ketiga, karena potensi di atas, kini justru KTP-el diperjualbelikan, bahkan secara daring. Keuntungan ekonomis membuat penyalahgunaan akan semakin besar dan membahayakan.
Tapi, di antara semua kebingungan dan deret pertanyaan, sebenarnya ada persoalan yang lebih penting.
Siapa yang bertanggung jawab dengan semua kejadian ini?
Sebab, sampai sekarang yang muncul justru berbagai pihak sibuk menyalahkan.
“Ada sabotase!”
“Ada yang ingin memfitnah!”
Alih-alih mencari solusi justru mereka sibuk mencari kambing hitam atas tercecernya KTP ini.
Lagi, harus dicari siapa yang siap mempertanggungjawabkan ini? Demi keadilan dan keamanan. Juga, bukan saja demi Adam, melainkan banyak remaja lain di Tanah Air yang masih terus menunggu dalam ketidakpastian tanpa sanggup berkata apa-apa lagi.
*******
Republika.co.id