Garut News ( Sabtu, 10/05- 2014 ).

Keangkuhan pemerintah berkukuh menjalankan ujian nasional, sungguh tak bisa diterima nalar.
Hajatan nasional itu, selalu saja berujung kekisruhan.
Dana ratusan miliaran rupiah dikeluarkan ujian nasional hanya jadi bancakan proyek, dan tak bisa mengatrol mutu pendidikan nasional.
Janji Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, ujian kali ini bakal tanpa kekacauan juga tak terpenuhi.
Tahun ini memang tak ditemukan keterlambatan datangnya soal ujian.
Namun sejumlah kekacauan, dari lembar soal salah cetak, soal berbau kampanye salah satu calon presiden, sampai petunjuk membikin bingung, tetap saja ada.
Lebih memprihatinkan lagi, apa lagi kalau bukan soal kebocoran ujian nasional.
Demi label lulus 100 persen, banyak guru, pejabat Dinas Pendidikan di daerah, dan murid menghalalkan segala cara menaklukkan ujian nasional.
Mereka mencari bocoran soal, dan kunci jawaban.
Ada juga guru sengaja membolehkan muridnya ramai-ramai menyontek.
Lebih parah, terdapat sekolah mendukung penyebaran bocoran jawaban ujian lewat SMS.
Penyimpangan-penyimpangan itu sungguh melukai nurani.
Di Sampang, Madura, contohnya, polisi menangkap basah Kepala SMP Negeri 1 Kecamatan Robatal, dan sejumlah guru lantaran menyebarkan kunci jawaban ujian kepada siswanya.
Ombudsman Jawa Barat juga menemukan soal ujian fisika untuk SMA bocor di daerah Bandung.
Pelbagai kecurangan itu menempatkan pendidikan nasional di titik paling rendah.
Dengan menggelar ujian nasional tingkat SMP dan SMA, negara justru merusak tujuan pendidikan, menumbuhkan kejujuran, akhlak mulia, dan budi pekerti luhur.
Dalam jangka panjang, pendidikan “melegalkan” cara nakal ini jelas bakal merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa karena, dari pendidikan model itu, para pejabat dilahirkan.
Maraknya praktek culas itu, rencana pemerintah menjadikan nilai ujian nasional sebagai syarat masuk jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri patut digugat.
Padahal, tahun sebelumnya, syarat diwajibkan sekadar lulus ujian nasional, tanpa melihat besaran nilainya.
Jika angka ujian nasional dijadikan syarat masuk, kita khawatir justru siswa curanglah menempati bangku perguruan tinggi negeri.
Tentu bukan hasil itu diharapkan Kementerian.
Mereka mengeluarkan anggaran Rp545 miliar ujian nasional, dan hasilnya adalah kesia-siaan.
Kementerian Pendidikan, dan DPR kudu menimbang kembali keangkuhan mereka tetap memertahankan ujian nasional.
Ujian nasional bukan satu-satunya cara, bukan pula cara tepat, meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Masih terdapat cara lain, misalnya meningkatkan kemampuan para kepala sekolah, dan guru serta memerbaiki fasilitas pendidikan pada pelbagai daerah.
Hanya dengan cara-cara itulah kesenjangan pendidikan antara pusat, dan daerah bisa dikurangi hingga akhirnya tercapai standar mutu pendidikan diharapkan.
******
Opini/ Tempo.co