Garut News ( Kamis, 09/10 – 2014 ).

Lamban benar pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyadari kontrak aneh yang dilakukan badan usaha miliknya.
Kemelut Sea Word versus PT Pembangunan Jaya Ancol yang berujung penutupan tempat rekreasi itu sejak Agustus lalu menjadi pelajaran yang amat pahit.
DKI, yang memiliki 72 persen saham di PT Pembangunan Jaya Ancol, memerlukan 20 tahun untuk menyadari kekeliruannya.
Kerja sama perusahaan ini dengan PT Sea World Indonesia tak banyak menghasilkan keuntungan. Tahun ini, taman hiburan yang menampilkan keindahan aneka ikan laut itu hanya menyumbang pendapatan Rp1,69 miliar dari total pendapatan Ancol Rp488,1 miliar.
Artinya, Sea World hanya menyumbang 0,35 persen pendapatan.
Seharusnya ada penjelasan memadai dari pemerintah DKI mengapa kontrak seburuk itu dulu diteken. Kerja sama Jaya Ancol dengan PT Sea World milik Lippo Group itu sungguh janggal.
Kontrak dengan sistem build-operate-transfer (BOT) yang dimulai sejak 1994 itu selama 20 tahun ini nyaris tak memberikan apa-apa kepada DKI.
Sea World hanya menyetor 5 persen dari penjualan tiket dan 6 persen dari penjualan makanan.
Dengan kontrak yang amat tak adil itu, wajar bila PT Pembangunan Jaya Ancol melakukan negosiasi ulang setelah kontrak berakhir tahun ini.
Kita sangat mengapresiasi langkah tersebut. Pemerintah DKI semestinya menyelamatkan BUMD dari kontrak tak wajar.
Apalagi, belakangan diketahui PT Sea World meminta agar angka bagi hasil dari penjualan tiket diturunkan dari 5 persen menjadi 3 persen.
Langkah PT Pembangunan Jaya Ancol membawa persoalan ini ke Badan Arbitrase Nasional sudah tepat. Upaya itu perlu dilakukan untuk melindungi BUMD.
Bukan rahasia lagi, selama ini ada kecenderungan perusahaan pelat merah kesulitan berkembang secara bisnis karena digerogoti pihak luar lewat kontrak-kontrak aneh.
Badan Arbitrase akhirnya memang memenangkan Ancol atas Sea World. Tapi semua itu belum cukup lantaran Sea World mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan putusan Badan Arbitrase.
Perang masih akan panjang. Sea World membangun pagar keliling untuk menutupi lokasinya. Mereka tak mau menyerahkan aset seperti yang tertera dalam kontrak BOT.
Tindakan itu dibalas dengan instruksi Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menutup total akses masuk Sea World pada akhir September lalu.
Berkaca pada perang melawan Sea World itu, Basuki mesti membangun sistem menyeluruh untuk mengevaluasi seluruh kontrak BUMD.
Kesalahan yang terjadi pada kasus Sea World tak boleh terulang. Pemerintah DKI harus memastikan perusahaan miliknya tak dipermainkan.
Rencana merekrut pengacara swasta untuk meladeni gugatan para pengusaha patut diacungi jempol. Dalam jangka pendek, langkah itu bisa menyelamatkan aset-aset pemerintah yang kini sedang diincar swasta.
Basuki, yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI, juga perlu memeriksa kinerja BUMD agar memberikan pendapatan yang maksimal bagi DKI.
******
Opini/Tempo.co