Kisah Perjumpaan Carl Bock dengan Suku Dayak Pemakan Manusia

0
178 views

Garut News ( Selasa, 04/03 – 2014 ).

Pendeta perempuan Dayak Tring, menunjukkan rajah di sekujur paha. Telinganya memanjang lantaran berbandul logam. Litografi ini berdasar karya lukis Carl Bock antara 1879-1880. Perempuan ini berkata pada Bock selain telapak tangan, otak, dan daging lutut hidangan terlezat bagi sukunya. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum).
Pendeta perempuan Dayak Tring, menunjukkan rajah di sekujur paha. Telinganya memanjang lantaran berbandul logam. Litografi ini berdasar karya lukis Carl Bock antara 1879-1880. Perempuan ini berkata pada Bock selain telapak tangan, otak, dan daging lutut hidangan terlezat bagi sukunya. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum).
“Perjalanan dari Kotta Bangoen ke permukiman Tring memakan waktu empat hari,” ungkap Carl Alfred Bock.

Dia berharap di Moeara Pahou bisa menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou.

Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka.

“Namun, Sultan dan pengikutnya berkata, perjalanan menuju ke sana sangat tak aman,”
ungkap Bock.

“Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti tetangga suku mereka.”

Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir suku Dayak menduga rombongannya bersiap menyerang mereka.

“Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,”
pinta Bock.

“Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka.”

Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock, mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang akan meminta suku Dayak Tring menampakkan diri.

Namun, sepekan berlalu tak ada kabar.

Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali.

“Apakah mereka terbunuh dan dimakan?”

demikian keresahan Bock.

Sultan turut gusar, kemudian dia mengirimkan perahu besar dipimpin seorang Kapitan Bugis.

Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama sekitar 40 warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.

“Seorang pendeta perempuan memersilakan saya mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock.

“Hal paling menakjubkan, lubang telinganya panjang berbandul cincin logam […] Selanjutnya, ketiadaan alis.”

Perempuan itu mengizinkan Bock mengamati detail bagian tubuhnya.

“Kembangan tato di bagian paha juga menjadi hal menarik,”
ungkapnya.

“Rambut mereka pendek menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lain; dan warna kulit mereka lebih cerah ketimbang suku-suka Dayak lainnya, kecuali orang-orang Punan.”

Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata pada Bock, telapak tangan bagian terbaik dimakan.

Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata berbahasa Melayu “Bai, bai” (baik), demikian menurut Bock.

“Menunjukkan otak, dan daging lutut hidangan lezat bagi sukunya.”

Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock.

Namanya, Sibau Mobang.

Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan, dan dua laki-laki.

“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock.

“Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak ataupun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam, sementara saya berpura-pura tak mengamatinya. Lalu, dia duduk pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”

Tampaknya Sibau berusia sekitar 50 tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan.

Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya.

Kupingnya menjuntai, dan ditindik berlubang besar.

Semua penampilan laki-laki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.

“Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock mencoba melukiskan sosok laki-laki itu, “Dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”

Namun, “Lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock.

“Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun banyak korban dijatuhkan bedebah haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”

Sibau berkata pada Bock, sukunya tak makan orang setiap hari.

Mereka makan daging dari pelbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar.

Namun, ujar sang kepala suku, setahun ini mereka tak makan nasi lantaran kegagalan panen.

Bock saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi baru saja masak pada mereka.

Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.

Sebagai kenang-kenangan, Bock memberikan hadiah berupa uang dua dollar pada setiap orang dilukisnya.

Selain itu, rombongan Dayak kanibal mendapat sepikul beras, untaian tasbih manik-manik, dan kain blacu panjangnya sekitar 22 meter guna dibagi bersama.

Sementara kepala suku Sibau memberikan kenang-kenangan membuat merinding penerimanya.

Bock mendapatkan dua tengkorak—laki-laki, dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala.

Semuanya dibungkus daun pisang.

Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia.

Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan pada 1879.

Ketika itu usianya masih 30 tahun.

Kisah penjelajahan dibukukan pada The Head Hunters of Borneo terbit pada 1881.

Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.

Sibau juga memberikan pada Bock sebuah perisai kayu dicat berpola warna semarak.

“Perisai itu dipercaya harta istimewa,”
ungkap Bock, “Berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”

(Mahandis Y Thamrin/National Geographic Indonesia).
*****
Kompas.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here