Kisah Aprilani Soegiarto, Pakar Maritim Indonesia yang Sempat Diduga Agen CIA

Kisah Aprilani Soegiarto, Pakar Maritim Indonesia yang Sempat Diduga Agen CIA

745
0
SHARE

Garut News ( Jum’at, 01/05 – 2015 ).

Aprilani Soegiarto saat menandatangani kontrak kerjasama PROSEA Foundation dengan Menteri Luar Negeri Belanda, A. P.M. van der Zon, pada 3 Mei 1996 di Den Haag.(PROSEANET).
Aprilani Soegiarto saat menandatangani kontrak kerjasama PROSEA Foundation dengan Menteri Luar Negeri Belanda, A. P.M. van der Zon, pada 3 Mei 1996 di Den Haag.(PROSEANET).

— Tubuhnya sudah rapuh dan usianya sudah di angka delapan puluh. Walaupun demikian, pemikirannya masih tajam, mampu memberi gagasan dan kritikan akan pembangunan kelautan Indonesia. Dia adalah Aprilani Soegiarto.

Aprilani adalah seorang pakar maritim Indonesia yang lahir pada 15 April 1935 di Solo. Seperti orang Jawa lain yang lahir pada awal abad ke-20, Aprilani terlahir dengan satu nama saja, yaitu Soegiarto.

Nama “Aprilani” punya sejarah tersendiri, bermula ketika pria yang pernah punya mimpi jadi dokter itu bersekolah di SMP Bopkri di Yogyakarta pada tahun 1950.

Ada dua nama “Soegiarto” di kelas sehingga sang guru aljabar yang bernama Kusumawardhani memberi tambahan nama “Aprilani”, sesuai bulan lahir, untuk membedakannya. Sejak saat itu, nama Aprilani seperti melekat pada diri Soegiarto.

Menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1959, Aprilani telah menunjukkan kiprah dalam bidangnya, sekaligus karya yang berdampak luas dalam lingkup dalam negeri dan internasional.

Lulus S-3 di University of Hawaii pada tahun 1972, Aprilani dipercaya sebagai Direktur Lembaga Oseanografi Nasional (LON), cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

“Saat itu oseanografi masih sangat kecil. Kami belum punya PhD. Anggaran yang kami terima hanya Rp 50 juta. Mau meneliti apa coba?” katanya ketika ditemui seusai peluncuran buku Kenangan Jejak Langkah Aprilani Soegiarto di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (30/4/2015).

Namun ternyata, dengan anggaran kecil, Aprilani tetap bisa berkarya. Dalam bidang pembinaan sumber daya manusia misalnya, dia berhasil mengorbitkan 16 PhD selama masa kepemimpinan di lembaganya.

Sementara itu, dia menghasilkan karya penelitian yang diakui oleh dunia dan bahkan diaplikasikan secara luas.

“Saya memperkenalkan teknik pengukuran produktivitas kelautan, yaitu dengan mengukur produktivitas plankton dengan klorofil dan perunut radioaktif karbon C-14. Dengan itu, kita bisa tahu,  produktivitas itu cukup atau tidak dalam menopang perikanan yang besar,” urainya.

Teknik itu dipakai oleh sejumlah peneliti dunia untuk mengukur produktivitas. Setidaknya, itu tecermin dari pengakuan Anugerah Nontji yang kini juga merupakan periset di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

Anugerah terkejut ketika mengetahui dari peneliti University of Hawaii bahwa teknik pengukuran produktivitas plankton sebenarnya diperkenalkan oleh Aprilani.

Tahun 1970-an, Anugerah yang baru masuk LIPI ikut International Indian Ocean Expedition (IIOE) dengan kapal riset Amerika USCGDD Pioneer. Dia masuk tim Plankton Productivity. Kala itu, dia menanyakan kepada ketua tim tentang referensi untuk teknik pengukuran.

“Saya mendapatkan jawaban yang mengagetkan. Dia menyodorkan paper yang ternyata adalah paper Aprilani Soegiarto dari Indonesia, dari lembaga saya, yang saya sendiri belum kenal. Malu juga saya ketika ditanya, ‘So do you know Aprilani Soegiarto,'” kata Anugerah.

Di tingkat internasional, Aprilani juga memelopori berdirinya sejumlah organisasi dan meraih penghargaan.

Tahun 1976, dia memelopori berdirinya Program Group on Western Pacific di Tokyo, dan menjadi ketua pertamanya. Awal tahun 1980-an, dia menjadi anggota Executive Council Intergovernmental Oceanographic Commision (IOC) di UNESCO.

Tahun 2003, dia menerima Appreciation Awards dari Worldfish Center, lembaga tempat Aprilani juga pernah menjabat sebagai wakil ketua. Di Asia Tenggara sendiri, oleh para peneliti, Aprilani dijuluki Bapak Ilmu Kelautan Asia Tenggara.

Puluhan tahun berkarya, Aprilani punya banyak pengalaman unik. Misalnya saat menyelesaikan studi S-3 di Universty of Hawaii, ketika dia harus mengirimkan sampel plankton ke dosennya.

Aprilani yang pada tahun 1967 juga berpangkat letnan tituler di Angkatan Laut dicurigai bekerja sama dengan pihak asing. Ia dituduh “membocorkan rahasia negara” dan “menjadi agen Central Intelligence Agency” (CIA) di Amerika Serikat.

Anugerah menuturkan, rumah Aprilani yang saat itu berlokasi di kawasan Kebun Raya Bogor sempat digeledah. Aprilani kemudian dikonsinyasi selama 38 hari di Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) di Gunung Sahari, Jakarta.

Pemeriksaan kemudian menunjukkan bahwa Aprilani tak terbukti membocorkan rahasia negara dan menjadi agen CIA.

Lucunya, pria yang berjulukan flying director sebab punya jam kerja tinggi itu malah kemudian menjadi pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Laut (Sesko-AL) dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).

Aprilani menuturkan, masalah tuduhan agen CIA sebenarnya dipicu oleh konflik di internal LIPI saat itu. Akhirnya, konflik berimbas pada dirinya, yang kala itu sebenarnya juga masih staf baru di lingkungan LIPI.

Memasuki usia 80 tahun ini, Aprilani masih punya banyak angan tentang Indonesia dan maritimnya.

Ia mengakui bahwa program Presiden Jokowi serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah cukup baik. Upaya tol laut dan pengendalian perikanan ilegal adalah beberapa hal yang disebutnya sebagai prestasi.

Namun, dia merasa bahwa masih banyak hal yang harus diupayakan, seperti pengolahan hasil laut agar tak hanya dijual dalam kondisi mentah. Aprilano mencontohkan pengolahan rumput laut yang saat ini masih kurang.

“Tahun 1960-an, saya mulai perkenalkan budidaya rumput laut. Sekarang saya bersyukur sudah banyak, tetapi sayangnya diekspor mentah, tidak diolah,” ungkapnya.

Menurut dia, rumput laut seharusnya bisa diolah dalam bentuk barang jadi yang berkualitas sehingga punya nilai tambah.

“Misalnya menjadi tepung,” kata pria yang ikut mendirikan Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (Hukli) yang selanjutnya bersama 9 organisasi lainnya dilebur menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Hal lain yang menurut dia masih perlu diupayakan adalah pemberdayaan para peneliti dan pekerja teknis riset kelautan. Fasilitas riset bisa diperkuat, dan dananya bisa diperbesar. Namun bila tak disertai sumber daya yang ahli dan terampil, maka hasilnya percuma.

“Bahkan, seorang pengambil sampel dan tukang las untuk tujuan riset pun harus ada pelatihan agar punya skill yang baik,” katanya.

Ia berharap kelautan Indonesia bisa maju. Untuk itu, Hal tersebut membutuhkan target-target yang tepat dan realistis. Peningkatan riset dan pemberdayaan peneliti, menurut dia, merupakan salah satu pilar utama agar Indonesia menjadi poros maritim dunia.

*********


KOMPAS.com
 — Tubuhnya sudah rapuh dan usianya sudah di angka delapan puluh. Walaupun demikian, pemikirannya masih tajam, mampu memberi gagasan dan kritikan akan pembangunan kelautan Indonesia. Dia adalah Aprilani Soegiarto.

Aprilani adalah seorang pakar maritim Indonesia yang lahir pada 15 April 1935 di Solo. Seperti orang Jawa lain yang lahir pada awal abad ke-20, Aprilani terlahir dengan satu nama saja, yaitu Soegiarto.

Nama “Aprilani” punya sejarah tersendiri, bermula ketika pria yang pernah punya mimpi jadi dokter itu bersekolah di SMP Bopkri di Yogyakarta pada tahun 1950.

Ada dua nama “Soegiarto” di kelas sehingga sang guru aljabar yang bernama Kusumawardhani memberi tambahan nama “Aprilani”, sesuai bulan lahir, untuk membedakannya. Sejak saat itu, nama Aprilani seperti melekat pada diri Soegiarto.

Menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1959, Aprilani telah menunjukkan kiprah dalam bidangnya, sekaligus karya yang berdampak luas dalam lingkup dalam negeri dan internasional.

Lulus S-3 di University of Hawaii pada tahun 1972, Aprilani dipercaya sebagai Direktur Lembaga Oseanografi Nasional (LON), cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

“Saat itu oseanografi masih sangat kecil. Kami belum punya PhD. Anggaran yang kami terima hanya Rp 50 juta. Mau meneliti apa coba?” katanya ketika ditemui seusai peluncuran buku Kenangan Jejak Langkah Aprilani Soegiarto di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (30/4/2015).

Namun ternyata, dengan anggaran kecil, Aprilani tetap bisa berkarya. Dalam bidang pembinaan sumber daya manusia misalnya, dia berhasil mengorbitkan 16 PhD selama masa kepemimpinan di lembaganya.

Sementara itu, dia menghasilkan karya penelitian yang diakui oleh dunia dan bahkan diaplikasikan secara luas.

“Saya memperkenalkan teknik pengukuran produktivitas kelautan, yaitu dengan mengukur produktivitas plankton dengan klorofil dan perunut radioaktif karbon C-14. Dengan itu, kita bisa tahu,  produktivitas itu cukup atau tidak dalam menopang perikanan yang besar,” urainya.

Teknik itu dipakai oleh sejumlah peneliti dunia untuk mengukur produktivitas. Setidaknya, itu tecermin dari pengakuan Anugerah Nontji yang kini juga merupakan periset di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

Anugerah terkejut ketika mengetahui dari peneliti University of Hawaii bahwa teknik pengukuran produktivitas plankton sebenarnya diperkenalkan oleh Aprilani.

Tahun 1970-an, Anugerah yang baru masuk LIPI ikut International Indian Ocean Expedition (IIOE) dengan kapal riset Amerika USCGDD Pioneer. Dia masuk tim Plankton Productivity. Kala itu, dia menanyakan kepada ketua tim tentang referensi untuk teknik pengukuran.

“Saya mendapatkan jawaban yang mengagetkan. Dia menyodorkan paper yang ternyata adalah paper Aprilani Soegiarto dari Indonesia, dari lembaga saya, yang saya sendiri belum kenal. Malu juga saya ketika ditanya, ‘So do you know Aprilani Soegiarto,'” kata Anugerah.

Di tingkat internasional, Aprilani juga memelopori berdirinya sejumlah organisasi dan meraih penghargaan.

Tahun 1976, dia memelopori berdirinya Program Group on Western Pacific di Tokyo, dan menjadi ketua pertamanya. Awal tahun 1980-an, dia menjadi anggota Executive Council Intergovernmental Oceanographic Commision (IOC) di UNESCO.

Tahun 2003, dia menerima Appreciation Awards dari Worldfish Center, lembaga tempat Aprilani juga pernah menjabat sebagai wakil ketua. Di Asia Tenggara sendiri, oleh para peneliti, Aprilani dijuluki Bapak Ilmu Kelautan Asia Tenggara.

Puluhan tahun berkarya, Aprilani punya banyak pengalaman unik. Misalnya saat menyelesaikan studi S-3 di Universty of Hawaii, ketika dia harus mengirimkan sampel plankton ke dosennya.

Aprilani yang pada tahun 1967 juga berpangkat letnan tituler di Angkatan Laut dicurigai bekerja sama dengan pihak asing. Ia dituduh “membocorkan rahasia negara” dan “menjadi agen Central Intelligence Agency (CIA) di Amerika Serikat.

Anugerah menuturkan, rumah Aprilani yang saat itu berlokasi di kawasan Kebun Raya Bogor sempat digeledah. Aprilani kemudian dikonsinyasi selama 38 hari di Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) di Gunung Sahari, Jakarta.

Pemeriksaan kemudian menunjukkan bahwa Aprilani tak terbukti membocorkan rahasia negara dan menjadi agen CIA.

Lucunya, pria yang berjulukan “flying director” sebab punya jam kerja tinggi itu malah kemudian menjadi pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Laut (Sesko-AL) dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).

Aprilani menuturkan, masalah tuduhan agen CIA sebenarnya dipicu oleh konflik di internal LIPI saat itu. Akhirnya, konflik berimbas pada dirinya, yang kala itu sebenarnya juga masih staf baru di lingkungan LIPI.

Memasuki usia 80 tahun ini, Aprilani masih punya banyak angan tentang Indonesia dan maritimnya.

Ia mengakui bahwa program Presiden Jokowi serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah cukup baik. Upaya tol laut dan pengendalian perikanan ilegal adalah beberapa hal yang disebutnya sebagai prestasi.

Namun, dia merasa bahwa masih banyak hal yang harus diupayakan, seperti pengolahan hasil laut agar tak hanya dijual dalam kondisi mentah. Aprilano mencontohkan pengolahan rumput laut yang saat ini masih kurang.

“Tahun 1960-an, saya mulai perkenalkan budidaya rumput laut. Sekarang saya bersyukur sudah banyak, tetapi sayangnya diekspor mentah, tidak diolah,” ungkapnya.

Menurut dia, rumput laut seharusnya bisa diolah dalam bentuk barang jadi yang berkualitas sehingga punya nilai tambah. “Misalnya menjadi tepung,” kata pria yang ikut mendirikan Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (Hukli) yang selanjutnya bersama 9 organisasi lainnya dilebur menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Hal lain yang menurut dia masih perlu diupayakan adalah pemberdayaan para peneliti dan pekerja teknis riset kelautan. Fasilitas riset bisa diperkuat, dan dananya bisa diperbesar. Namun bila tak disertai sumber daya yang ahli dan terampil, maka hasilnya percuma.

“Bahkan, seorang pengambil sampel dan tukang las untuk tujuan riset pun harus ada pelatihan agar punya skill yang baik,” katanya.

Ia berharap kelautan Indonesia bisa maju. Untuk itu, Hal tersebut membutuhkan target-target yang tepat dan realistis. Peningkatan riset dan pemberdayaan peneliti, menurut dia, merupakan salah satu pilar utama agar Indonesia menjadi poros maritim dunia.


Penulis : Yunanto Wiji Utomo
Editor : Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY