Ketika Lafaz Allah Dijadikan Dudukan Toilet

Ketika Lafaz Allah Dijadikan Dudukan Toilet

843
0
SHARE
Indira Rezkisari (Foto: Republika/Kurnia Fakhrini).

Senin 04 Feb 2019 13:50 WIB
Red: Indira Rezkisari

Indira Rezkisari (Foto: Republika/Kurnia Fakhrini).

“Dalih ketidaktahuan selalu jadi alasan usang penghinaan yang bersifat SARA”

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Siklus itu rasanya terus berputar. Setiap beberapa waktu muncul kasus penghinaan terhadap agama atau suku dan ras yang dilakukan oleh sebuah label mode atau rumah makan atau bahkan produk mainan.

Penyebabnya saya duga adalah tidak adanya sensitivitas atau pemahaman kalau yang dilakukannya adalah penghinaan terhadap agama lain atau suku atau ras lain. Dunia memang semakin global. Makin tidak berbatas. Tapi penduduknya belum tentu. Masih banyak yang memutuskan hidup dalam cangkangnya atau mengenakan kacamata kuda tidak melihat kehidupan di luar dirinya sendiri.

Tengok saja kasus di awal tahun ini ketika Amazon diprotes karena menjual keset dan tutup kloset yang memiliki tulisan atau kaligrafi Islam. Tak tanggung-tanggung keset yang fungsinya untuk diinjak kaki itu bertuliskan lafaz Allah ada pula Muhammad. Komunitas Muslim di Amerika pun melayangkan protesnya. Dan untungnya Amazon bersedia menarik produk-produk tersebut dari situsnya.

Kasus penghinaan tidak terjadi pada masyarakat Muslim. Sebuah pemeran seni yang menampilkan ikon makanan cepat saji Ronald McDonald’s terpatri di kayu salib telah memicu kemarahan umat Kristen di Haifa, Israel. Mereka meminta patung berjudul “McJesus” itu dicopot dari museum.

Aksi protes pun berlangsung. Minoritas Arab-Kristen di Haifa menganggap patung McJesus adalah sebuah pelecehan serta serangan terhadap agama mereka. Beberapa warga Kristen yang tak kuasa membendung amarahnya bahkan melempari museum dengan batu dan bom molotov.

Sementara itu beberapa tahun lalu seorang turis Belanda divonis hukuman di Myanmar karena mematikan pengeras suara di sebuah acara keagamaan Buddha di Mandalay, Myanmar. Turis bernama Klaas Haytema mengganggu acara siar agama karena, menurutnya, suaranya mengganggu tidurnya. Dalam sidang, ia mengaku tidak tahu bahwa saat itu sedang berlangsung acara keagamaan.

Haytema bukan orang asing pertama yang berurusan dengan otoritas Myanmar terkait dengan masalah pelanggaran undang-undang setempat yang menjunjung tinggi upacara keagamaan. Seorang turis Spanyol pernah dideportasi setelah sejumlah biksu melaporkan bahwa ia memiliki tato Buddha pada kakinya.

Juga seorang manajer restoran Selandia Baru mendekam di penjara selama sekitar 10 bulan karena ‘menghina agama’. Ia menggunakan gambar Buddha untuk mengiklankan malam minum murah di restorannya.

Jika kasus penghinaan agama sudah berlangsung sejak lama. Hal yang sama terjadi dengan penghinaan terhadap suku atau ras. Peristiwa itu masih terus terjadi. Di dunia mode papan atas salah satu peristiwa yang paling ramai belakangan ini adalah insiden Dolce & Gabbana di Cina.

Hanya beberapa jam sebelum Dolce & Gabbana menggelar pergelaran busana akbarnya, sejumlah tamu undangan papan atas membatalkan kehadirannya. Penyebabnya adalah murkanya warganet di Cina terhadap iklan Dolce & Gabbana yang dipandang menghina orang Cina.

Iklan menampilkan seorang wanita Cina mengenakan cheongsam mencoba melahap makanan Italia menggunakan sumpit. Ia digambarkan kesulitan memakan cannoli hingga piza dengan sumpit sembari dilatari musik tradisional Cina.

Penggambaran yang tepat bukan sekadar membatalkan pergelaran busana. Sejumlah pihak membatalkan kontrak yang berisi penjualan produk-produk Dolce & Gabbana secara daring. Khawatir akan amukan massa, toko Dolce & Gabbana juga terpaksa ditutup. Padahal Cina yang ekonominya sedang bangkit merupakan pasar yang sedang jadi sasaran empuk rumah mode papan atas.

Entah insiden terkait SARA apalagi yang mungkin terjadi di masa depan. Tapi tanpa adanya kepekaaan terhadap eksistensi orang lain yang berbeda dengan diri sendiri, rasanya sulit mengharapkan penghinaan agama atau suku dan ras bisa dihentikan.

Paus Fransiskus beberapa tahun lalu pernah mengomentari insiden penyerangan kantor publikasi Charlie Hebdo, yang menerbitkan komik satir menghina Nabi Muhammad SAW. Penyerangan disebut dilakukan oleh kelompok Islam garis keras.

Paus Fransiskus mengatakan, ia mengutuk segala jenis pembunuhan yang mengatasnamakan Tuhan. Tapi ia juga menekankan adanya batas terhadap kebebasan berpendapat. Paus mengatakan, agama lain tidak boleh dihina atau disinggung.

“Setiap agama memiliki kehormatan tersendiri dan ada batas-batasnya,” kata Paus. Menurutnya, seseorang tidak boleh memprovokasi dan menghina agama atau keyakinan orang lain. “Kebebasan berpendapat adalah hak dan kewajiban yang harus diperlihatkan tanpa menghina orang lain.”

Islam juga mengatur segala sendi kehidupan. Termasuk larangan mencaci maki, menghina, atau menjelekkan agama lain dan praktiknya, seperti tertera dalam Alquran Surat Al-An-am ayat 108.

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

*penulis adalah redaktur di Republika.co.id

******

Republika.co.id

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY