-Kadir, penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik
Jakarta, Garut News (Kamis, 05/02 – 2015 ).

Pemerintah menargetkan penurunan rasio gini dari 0,42 menjadi 0,36 dalam lima tahun mendatang (Koran Tempo, 27 Januari).
Itu artinya, pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang dibarengi pemerataan.
Tak bisa dimungkiri, selama ini pembangunan ekonomi nasional lebih difokuskan pada upaya mengejar angka-angka pertumbuhan ekonomi, tanpa mempedulikan aspek pemerataan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi kurang berbobot. Hal itu terlihat dari penurunan kemiskinan yang lambat dan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan rasio gini menjadi sangat krusial untuk menghindarkan negeri ini dari dampak buruk kesenjangan ekonomi yang kian melebar.
Dalam soal ini, sedikitnya, ada dua dampak buruk yang bakal terjadi. Pertama, kohesi sosial dan politik menjadi lemah.
Kohesi sosial dan politik yang lemah berpotensi melahirkan konflik sosial di tengah masyarakat. Gawatnya, kini, gejala pelemahan tersebut mulai tampak.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada 2014 menyatakan, lebih dari 90 persen responden survei menilai kesenjangan ekonomi yang terjadi saat ini telah melebihi batas kewajaran.
Kedua, kesenjangan ekonomi yang terus memburuk bakal menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut tentu sangat merisaukan.
Bila terjadi, kekhawatiran bahwa Indonesia bakal terkungkung dan sulit keluar dari kategori negara berpendapatan menengah (middle income trap) boleh jadi bakal menjadi kenyataan.
Faktanya, meski ekonomi tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun sepanjang 2004-2013, pertumbuhan tersebut hanya mampu menghela 7,6 juta orang keluar dari kemiskinan.
Tidak mengherankan bila pada periode yang sama rasio gini meningkat dari 0,32 menjadi 0,41. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selama dasawarsa terakhir, secara sektoral, pertumbuhan ekonomi nasional lebih bertumpu pada sektor jasa (non-tradable) ketimbang sektor penghasil barang (tradable) yang bersifat padat karya.
Pada 2013, misalnya, andil sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi nasional hanya sekitar 34 persen.
Sektor pertanian yang menyerap mayoritas angkatan kerja bahkan hanya berkontribusi sebesar 7,8 persen.
Akibatnya, laju pertumbuhan pendapatan/pengeluaran antarkelompok ekonomi tidak seimbang. Faktanya, laju pertumbuhan pengeluaran per kapita 40 persen penduduk yang secara ekonomi berada di strata paling bawah kurang dari 2 persen per tahun sepanjang 2008-2012.
Sedangkan pada saat yang sama, laju pertumbuhan pengeluaran per kapita 20 persen penduduk terkaya justru tumbuh di atas 5 persen per tahun.
Inilah sebetulnya alasan di balik tren peningkatan rasio gini selama dasawarsa terakhir.
Karena itu, pemerintah harus mendorong laju pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk dengan status sosial-ekonomi terendah.
Hal itu sejalan dengan agenda pembangunan global yang kini tengah digaungkan Bank Dunia: kemakmuran bersama (shared prosperity).
Bila perlu, hal tersebut menjadi target tahunan, sepertinya halnya target penurunan kemiskinan. Dengan demikian, upaya pemerintah dalam menurunkan rasio gini menjadi lebih fokus dan terarah serta dapat dievaluasi secara berkala.
********
Kolom/Artikel Tempo.co