Oleh: Hanhan Husna
Garut News ( Kamis, 01/12 – 2014 ).

Dalam lima tahun, jumlah indikasi temuan pelanggaran isi siaran meningkat hingga hampir tujuh kali lipat.
Dalam catatan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat menujukkan, pada 2009, temuan indikasi pelanggaran tidak sampai 200 laporan.
Namun pada 2014, pemantau isi siaran KPID Jabar membukukan 1.381 indikasi. Sementara pada 2013, mereka membukukan 1.600 indikasi.
Menurut Komisioner KPID Jabar yang juga Koordinator Bidang Isi Siaran, Nursyawal, data ini menunjukkan kondisi yang tidak berubah dari tahun ke tahun, dan trennya malah meningkat.
Menurut dia, praktisi penyiaran sepertinya tidak memiliki kesadaran etika dan hanya peduli pada keuntungan bisnis.
Termasuk pelanggaran terbaru adalah dalam melaporkan situasi bencana.
Nursyawal menjelaskan, di negara-negara lain yang sudah maju peradabannya, jasad korban bencana atau musibah kecelakaan, tidak pernah ditayangkan dalam siaran langsung.
Bahkan dalam siaran rekaman gambar jasad korban juga nyaris tidak digunakan.
“Berbeda dengan perilaku lembaga penyiaran di Indonesia yang gemar memperlihatkan ceceran darah, mayat, atau potongan tubuh,” ujar Nursyawal dalam rilis yang diterima INILAHCOM, Rabu (31/12/2014).
Gambar-gambar tersebut, kata dia, secara kategori masuk dalam kategori kekerasan psikologis yang penggunaannya dalam siaran amat dibatasi oleh Peraturan KPI.
Namun secara etika, jasad atau mayat adalah jenazah seseorang yang tetap memiliki marwah yang wajib dilindungi oleh yang masih hidup.
“Itu sebabnya sejumlah agama mewajibkan untuk mengurus jenazah dengan baik, bahkan ketika dimandikan tetap dalam ruang tertutup,” kata dia.
Nursyawal mengatakan, selama 2014, pelanggaran terbanyak dalam isi siaran adalah gambar-gambar berisi kekerasan.
Diikuti oleh gambar-gambar yang melanggar norma susila, alias mengeksploitasi seksualitas.
Pelanggaran tersebut tidak bisa dihentikan meski teguran KPID Jabar sejak 2009 hingga 2014 terus meningkat dari 20 teguran pada 2009 hingga 148 teguran pada 2014.
Bahkan surat penghentian siaran dari KPID Jabar yang diterbitkan November 2014 untuk dua stasiun televisi ternyata tidak digubris.
“Dalam surat balasannya, stasiun televisi itu menyebut keputusan KPID Jabar tidak memiliki alasan kuat, karena tayangan yang dimaksud adalah siaran olah raga. Padahal sudah jelas diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 50/2005 bahwa materi siaran dari luar negeri yang berisi pertandingan olah raga yang sadis, dilarang untuk ditayangkan,” jelasnya.
Sikap seperti ini, menurut Nursyawal menunjukkan, ketidakpedulian para praktisi penyiaran pada tujuan penyiaran, serta kewajiban-kewajiban mereka kepada publik untuk mendidik.
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi juga menunjukkan ketiadaan kesadaran etika dalam menggunakan gambar tertentu dan ketidakpedulian pada fakta bahwa Indonesia terdiri dari beragam budaya dan norma sosial.
Menurutnya, frekuensi masih dianggap oleh para praktisi penyiaran sebagai sebuah benda milik pribadi yang bisa dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk kepentingan siapapun yang bisa mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya.
KPID Jabar berharap pada 2015, kondisi ini berubah dan industri penyiaran menyadari, bahwa frekuensi yang digunakannnya untuk siaran adalah pinjaman dari seluruh rakyat Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [hus]
********
INILAHCOM.