Esay/ Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Ahad, 06/12 – 2015 ).

Raptor predator berupa ragam jenis elang “eagle”, burung pemangsa berukuran besar asal suku “Accipitridae” terutama genus “Aquila”.
Bersama burung-burung pemangsa lebih kecil dikenal dengan sebutan Elang-alap (Hawk, bergenus Accipiter).
Mereka melesat mengepakan sayap bermanuver dari Siberia hingga menjangkau lintasan “Car Free Day” di Kawasan Alun-Alun pusat Kota Garut, Jawa Barat, Ahad (06/12-2015).
Fenomena tersebut, dimaknai pengelola Pusat Konservasi Elang Kamojang dengan menampilkan ragam visual. Termasuk atraksi “memukau” theaterikal, antara lain mengingatkan kepak sayap elang yang memesona itu, kini kian terancam punah.

“Sehingga hari ini kami gelar pada rangkaian helatan Car Free Day,” ungkap Ketua Raptor Indonesia, Zaini Rakhman ketika didesak pertanyaan Garut News.
Maka tertumpu harapan, terwujudnya empati sekaligus peran serta beragam elemen dan komponen masyarakat, bersama-sama menjaga kelestarian habitat elang, biarkan mereka termasuki Elang Jawa (Garuda) terbang bebas mengangkasa, imbuh Zaini.
Lantaran, ternyata elang juga selama ini tak hanya menjadikan kawasan hutan di Kabupaten Garut.
Sebagai wilayah tujuan singgah di sela perjalanan migrasi panjang sangat melelahkan selama semalam (rusting area), maupun selama rentang waktu sepekan (stock area).

Melainkan pula sebagai daerah tujuan tinggal dan mencari makan hingga berbulan-bulan lamanya menunggu berakhirnya musim dingin di daerah asal (wintering area), mereka berdatangan dari daerah memiliki empat musim, mulai Siberia hingga kawasan Asia bagian timur seperti Tiongkok, Korea, dan Jepang, guna bermigrasi ke Pulau Jawa dan sekitarnya.
Dikemukakan, saban tahun bisa dipastikan bermigrasi menghindari musim dingin. Biasa berlangsung sejak Desember hingga akhir Maret atawa awal April.
Sebab, elang membutuhkan panas (thermal) agar bisa terbang tinggi, dan tangkas. Maka ketika musim dingin tiba, mereka melesat hengkang bermigrasi ke tempat lebih panas, di antaranya Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.

“Berdasar penelitian kerjasama Tokyo University, Garut tak hanya menjadi jembatan migrasi elang dari Pulau Jawa menuju Nusa Tenggara, tetapi menjadi wintering area,” ungkapnya, pula.
Sedangkan dijadikannya Garut wintering area, sebab kondisi wilayah hutannya terbilang masih cukup luas, dan relatif bagus dibandingkan daerah lain di Pulau Jawa, katanya.
Bahkan Garut pun merupakan barrier terakhir bagi elang merupakan top predator dalam piramida satwa tersebut, bebernya.
“Elang butuh hutan untuk singgah dan cari makan. Maka apabila kawasan hutan di Garut rusak, dipastikan pula kondisi rantai migrasi Jawa-Nusa Tenggara pun terputus,” imbuhnya.

Karena itu, kata dia, Tepatnya kawasan hutan Kamojang dipilih menjadi lokasi dibangunnya Pusat Konservasi Elang dibiayai dana Coorporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Kamojang bekerja sama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.
Menyusul lanskap Guntur-Kamojang-Darajat-Papandayan, juga dinilai cukup ideal bagi konservasi elang di alam liar, katanya pula.
Jalani Proses Pemulihan.
Dikemukakan, dari 311 jenis elang di dunia, terdapat 90 jenis di antaranya berada di kawasan Asia, malahan juga ada 75 jenis di antaranya berada di Indonesia.

Salah satunya elang keberadaannya kini semakin langka, yakni elang Jawa (spizeatus bartelsi). Sehingga keberadaan dan kelangsungan hidup elang di alam mutlak kudu menjadi perhatian semua pihak.
Apalagi, selama ini elang menempati posisi teratas pada ekosistem. Keberadaannya pun di alam merupakan indikator keseimbangan ekosistem.
Jika pada suatu kawasan hutan masih terlihat ada elang, bisa dipastikan di sana masih ada macan dan owa serta hutannya masih terjaga cukup baik. Sumber air pun terjaga

“Namun apabila di kawasan hutan tak terlihat ada elang maka dipastikan pula kondisi ekosistemnya terganggu. Hutan mengalami kerusakan parah. Sumber air pun terganggu, bahkan bisa jadi kering. Tetapi di sana masih memungkinkan ada macan, atau owa,” ungkap Zaini, mengingatkan.
Pusat Konservasi Elang Kamojang berkomitmen berupaya menyelamatkan elang dari perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan elang secara ilegal, katanya pula.
Sejak dibangun pada 2014 lalu, menerima sebanyak 12 elang translok dari Sukabumi.

Kemudian 2015, populasinya bertambah dengan diterimanya 20 elang pelbagai jenis dari masyarakat. Terdapat delapan di antaranya dilepasliarkan di kawasan hutan Kamojang.
Meski hingga kini masih dilakukan penataan fasilitas, Pusat Konservasi Elang Kamojang berdiri di atas lahan seluas 11,2 hektare itu, bisa dikunjungi masyarakat umum tanpa dikenai tiket masuk.
Tetapi areal bisa dimasuki pengunjung terbatas, sebab sebagian besar lahan diperuntukkan menjadi lahan rehabilitasi elang, dan buffer pelepasliarannya.
“Kunjungan lokasi kita gratiskan. Karena bertujuan pula sebagai wahana edukasi bagi masyarakat,” kata dia.
*******
Noel, Jdh.