Garut News ( Sabtu, 17/01 – 2015 ).

Pemerintah Joko Widodo tak boleh membiarkan gejolak harga berlangsung seperti tak berkesudahan. Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 18 November lalu, hingga kini harga barang kebutuhan pokok dan ongkos transportasi masih tinggi.
Padahal pemerintah sudah dua kali kembali menurunkan harga BBM pada awal dan pertengahan Januari ini.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah di bidang energi. Subsidi BBM memang selayaknya dihapus karena tidak tepat sasaran: lebih banyak orang kaya yang menikmatinya.
Saat ini, pemerintah hanya memberikan subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 1.000 per liter, dan tak lagi mensubsidi Premium.
Dampak positif kebijakan ini sudah terlihat dalam draf Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Dalam draf tersebut, subsidi BBM hanya dianggarkan Rp81 triliun, Rp56 triliun di antaranya untuk subsidi tahun ini dan sisanya merupakan pembayaran utang ke Pertamina.
Angka tersebut turun drastis dari Rp276 triliun dalam APBN 2015.
Dengan kebijakan baru itu, anggaran kita jauh lebih sehat. Anggaran subsidi juga tak lagi terpengaruh oleh gejolak harga minyak mentah internasional.
Selain itu, ruang fiskal lebih lega. Pemerintah pun memiliki dana yang cukup besar untuk dialihkan ke pos yang lebih produktif dan berdampak luas, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Sayangnya, kebijakan yang bagus itu membuat para industriwan dan pedagang terkaget-kaget. Mereka kebingungan lantaran harga BBM bersubsidi, terutama solar, sebagai salah satu faktor menentukan besaran biaya produksi dan ongkos transportasi, berubah tiga kali dalam dua bulan terakhir.
Konsumen pun ikut kena getahnya. Mereka frustrasi karena harga barang kebutuhan tak juga berubah setelah harga BBM turun.
Pemerintah agaknya sama bingungnya dengan para industriwan, pedagang, dan konsumen. Pemerintah, misalnya, meminta Pertamina menurunkan harga elpiji kemasan 12 kg dan BUMN semen memangkas harganya Rp3.000 per sak.
Semestinya, pemerintah tak boleh mengintervensi harga dua komoditas itu karena selama ini harganya ditentukan oleh pasar.
Tampaknya, adalah tingginya inflasi pada Desember 2014 yang membuat Presiden Jokowi memilih jalan pintas.
Pada akhir tahun lalu itu, inflasi tahunan (year on year) masih 8,36 persen, jauh di atas target yang dijanjikan di bawah 5 persen.
Artinya, diperlukan usaha yang sangat keras untuk mencapai target tersebut. Apalagi jika pengusaha dan pedagang “bandel” tak mau menurunkan harga.
Dengan kebijakan baru di bidang energi itu, pemerintah, industriwan, pedagang, dan konsumen harus belajar beradaptasi.
Jika pemerintah Jokowi konsisten, pola harga BBM akan terus seperti yang sekarang terjadi. Harga akan naik-turun menyesuaikan dengan pergerakan harga minyak internasional.
Semestinya, harga barang dan ongkos transportasi juga mengikuti gelombang yang sama.
Pemerintah juga perlu memikirkan jangka waktu perubahan harga BBM ini. Periodisasi perubahan setiap dua pekan akan menyulitkan kalangan industri dan pedagang menyesuaikan diri. Namun, harus diakui, perlu waktu untuk beradaptasi dengan kebijakan baru ini.
*********
Opini Tempo.co