Fadel Muhammad,
Mantan Gubernur Gorontalo
Garut News ( Rabu, 12/03 – 2014 ).

Forbes baru-baru ini merilis daftar orang terkaya di dunia, 19 orang Indonesia masuk di dalamnya.
Kita tertegun karena kekayaan mereka setara dengan 4,3 persen PDB Indonesia.
Belajar dari sejarah, Indonesia pernah melakukan kekeliruan dalam pembangunan ekonomi dengan memperbesar kue pendapatan nasional yang diyakini akan menciptakan trickle-down effect.
Ternyata kue itu lebih banyak dinikmati oleh kelompok kecil saja.
Pada 1995, omzet 200 konglomerat besar sekali dan menguasai perekonomian Indonesia.
Presiden Soeharto waktu itu bangga dengan konglomerat yang dipercaya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Namun, pada 1998, terjadi krisis ekonomi yang memukul Indonesia.
Muncul amuk kolektif yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang memang penuh ketimpangan itu.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI dan Badan Pusat Statistik , pada 2013, indeks Gini Indonesia diperkirakan 0,41-0,42.
Sementara ketika SBY mengawali masa kepresidenannya pada 2004, indeks Gini masih 0,32.
Penyebab ketimpangan yang semakin lebar adalah penguasaan akses terhadap sumber daya oleh kelompok eksklusif, sehingga orang kebanyakan tidak mampu menggapainya.

Kondisi makroekonomi tidak sehat karena ekonomi lebih digerakkan oleh sektor konsumsi ketimbang sektor produksi, sehingga tidak mampu menyerap tenaga kerja secara memadai.
Itu sebabnya penurunan kemiskinan berjalan terseok-seok.
Dalam rentang sembilan tahun SBY memerintah, angka kemiskinan hanya turun 5,3 persen, atau rata-rata per tahun hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,59 persen.
Yang mengejutkan, dalam waktu 6 bulan pada 2013, jumlah penduduk miskin bertambah. Pada Maret 2013, penduduk miskin berjumlah 28,07 juta, tapi pada September menjadi 28,55 juta, yaitu 11,47 persen dari jumlah penduduk.
Angka ini akan jauh lebih tinggi bila menggunakan ukuran Bank Dunia.
Pemilu tinggal sebentar lagi.
Perlu dibangun kontrak baru dengan wakil rakyat dan pemerintah terpilih agar menciptakan tata kelola ekonomi yang sesuai dengan amanat Pancasila dan konstitusi, yaitu mengutamakan keadilan dan pemerataan.
Dua sila Pancasila jelas mengamanatkan pentingnya keadilan, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara lebih operasional, UUD 1945 menuntut dan memberikan pedoman agar kita membangun bukan hanya demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonomi dan sosial.
Itu artinya perlu kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan yang tegas.
Tahun 2014 adalah tahun akhir transisi yang harus dijaga, agar kita bisa merumuskan serta melaksanakan kebijakan pembangunan nasional yang adil dan berkualitas.
Jangan lagi terjebak dalam jerat globalisasi dan pasar bebas yang merupakan neo-kolonialisme dan merugikan kita.
Pasar bebas yang murni tidak ada, yang ada adalah pasar yang terdistori oleh kepentingan, persaingan, dan bahkan distorsi kepentingan geopolitik.
Pasar bebas bahkan bisa “membeli” birokrasi pemerintahan.
Kita harus tetap waspada, bahwa pasar bebas dan para penguasa pasarnya mampu melemahkan fungsi negara dan menciptakan nestapa terhadap yang lemah.
Yang kita perlukan adalah pasar bebas yang punya arti secara sosial.
Kontrol dan intervensi negara secara terbatas diperlukan.
Di dunia ini, kompetisi tak bisa dihindari.
Ia merupakan instrumen membangun kekuatan dan kemajuan.
Namun persaingan tanpa kerja sama akan memunculkan konflik.
Pemerintahan baru nanti harus membuat kebijakan agar kompetisi dan kerja sama yang saling menghidupi terjadi, sehingga tata kehidupan ekonomi nasional menjamin terwujudnya keadilan.
Konstitusi kita tegas menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Usaha bersama dan asas kekeluargaan adalah sendi ekonomi Indonesia.
Demokrasi ekonomi yang harus dibangun adalah yang berpedoman pada adagium “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Karena itu, pemerintah dalam memaknai pembangunan bukan sekadar mengundang investor untuk berinvestasi, tapi yang lebih penting adalah meningkatkan kapabilitas rakyat untuk mengakses sumber-sumber yang mampu meningkatkan taraf hidup mereka.
Pemerintah harus dengan sadar melaksanakan strategi alokasi sumber-sumber ekonomi dan menciptakan pertumbuhan melalui cara-cara demokratis dan membuat skala prioritas pembangunan dengan memperhatikan aspirasi rakyat.
Pemerintah harus mampu mengelola kebijakan nasional yang mengikat pemerintah daerah untuk membuat kebijakan progresif dalam memperlakukan kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi dan menjadi korban struktur ekonomi eksploitatif.
Salah satunya adalah mengelola pasar menjadi lebih akomodatif terhadap kegiatan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Semua itu adalah agenda yang harus dijalankan oleh pemerintah mendatang, siapa pun pemenangnya.
*****
Kolom/Artikel Tempo.co