Karna dan Kumbakarna

0
265 views

Putu Setia,
@mpujayaprema

Garut News ( Kamis, 05/06 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

Kedua kesatria ini berbeda zamannya.

Karna pada zaman Mahabharata, sedangkan Kumbakarna di zaman Ramayana.

Namun keduanya punya ilmu tinggi.

Dan keduanya terlibat dalam perang.

Karna lahir dari rahim Kunti, ibu para Pandawa.

Kunti, saat remaja, mendapat ilmu dari seorang maharesi, kelak, jika sedang bercinta, berdoalah kepada dewa tentang sifat anak yang diinginkan.

Saat Kunti bercinta dengan pacarnya, ia membayangkan Dewa Surya.

Lahir seorang bayi tampan sebelum Kunti menikah.

Heboh di kerajaan.

Kunti adalah putri bangsawan akan dinikahkan dengan Pandu.

Maka, bayi lelaki itu dibuang ke Sungai Gangga.

Namun Kunti mengawasi anaknya sampai ada orang yang memungutnya.

Di telinga anak itu dipasang anting-anting sebagai tanda.

Anak itu kelak dipanggil Karna, yang artinya telinga.

Namun, Atiratha-kusir dokar yang memungut bayi itu-memberi nama Radheya untuk sang bayi.

Istri Atiratha, seorang perajut benang bernama Radha, mengasuh sang bayi dengan telaten.

Maklum, dia tak punya anak.

Syahdan, Radheya remaja tumbuh dengan kekar.

Tapi dia ditolak belajar di pedepokan Guru Drona karena status sosialnya rendah.

Ia berkasta Sutha, kasta terendah saat itu.

Radheya tak putus asa, ia mencari guru lain, Bagawan Bhargawa.

Bahkan ia membanggakan kastanya yang rendah dengan menyebut namanya Radheya Suthaputra.

Sementara itu, Kunti menikah dengan Pandu, lalu melahirkan tiga putra: Yudistira, Bima, Arjuna.

Istri Pandu yang kedua, Madri, melahirkan anak kembar: Nakula dan Sahadewa.

Ketika Pandu meninggal dunia, Madri memilih ritual satya (menceburkan diri pada api yang membakar Pandu).

Imbalannya, Kunti mengasuh kelima anak lelaki itu tanpa pilih kasih.

Itulah Panca Pandawa.

Nah, ketika Radheya menginjak dewasa dan tahu asal-usulnya bahwa dia adalah anak Kunti yang pertama, dia pun menuntut haknya.

Koalisi kelima Pandawa menolak.

Bahkan sempat Pandawa meragukan Radheya sebagai kakak sulungnya.

Kunti serba salah, karena ia membenarkan bukti anting-anting yang dibawa Radheya.

Dan Radheya berang, lalu memperkenalkan nama Karna.

Kekesalan Radheya, yang sudah populer bernama Karna, didengar oleh pihak Kurawa.

Duryodana membujuk Karna agar bergabung ke Kurawa dengan janji jabatan di atas menteri, waktu itu disebut Adipati.

Karna setuju dan siap berlaga untuk membalas sakit hatinya ditolak Pandawa.

Jadi, Adipati Karna memihak Kurawa bukan karena senang kepada Korawa, tapi semata-mata untuk membalas sakit hati dan memamerkan kedudukannya yang tinggi.

Bagaimana dengan Kumbakarna?

Ia tak setuju dengan kakaknya, Rahwana, yang menculik Dewi Sinta.

Alengka menjadi morat-marit dan tercela gara-gara sifat kakaknya yang sombong dan doyan cewek.

Tapi saat ia dibangunkan untuk berperang melawan pasukan Rama, Kumbakarna siap bertempur.

“Saya bertempur tidak untuk membela kakak saya, tidak membela pemimpin yang congkak, tapi saya membela tanah air saya,” katanya.

Jadi, Kumbakarna ingin negerinya aman dan damai, rakyat tidak menderita, dan untuk itu dia berperang. Bukan berperang membela pemimpin kerajaan.

Pada akhirnya, kita semua tahu, Karna dan Kumbakarna kalah dalam peperangan.

Perang berbekal sakit hati karena ditolak bergabung dan perang dengan sikap idealis tinggi tanpa mempertimbangkan sosok pemimpinnya, sama-sama berbuah buruk.

Rupanya, untuk berlaga atau sekadar berpihak, perlu akal sehat. *

******

Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here