Garut News ( Jum’at, 05/12 – 2014 ).

Seruan menyajikan makanan lokal dalam kegiatan pemerintah merupakan langkah bagus. Kampanye mengonsumsi makanan khas Indonesia penting dilakukan demi menolong petani.
Tetapi pemerintah jangan sampai memproteksi produksi dalam negeri secara membabi-buta lantaran hal itu justru bakal merugikan masyarakat.
Kampanye makanan lokal itu diselipkan dalam Surat Edaran Nomor 10/2014 diterbitkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.
Surat ini sebetulnya menekankan pada efektivitas pengadaan barang dan efisiensi penggunaan listrik di kantor.
Misalnya, ditekankan agar pengaturan penyejuk ruangan tak boleh di bawah 24 derajat Celsius demi menghemat energi.
Adapun soal penyajian makanan lokal hanya disinggung sedikit. Para pejabat diminta menghidangkan makanan tradisional sehat atawa buah-buahan produksi dalam negeri ketika mengadakan rapat.
Tujuannya, sesuai dengan surat edaran ini, untuk “mendorong produksi dalam negeri dan kedaulatan pangan”.
Tak hanya diedarkan kepada para menteri, surat ini juga dikirim kepada para kepala daerah.
Kudu diakui, kampanye itu tak mudah dijalankan. Sebagian besar masyarakat kita terbiasa mengonsumsi makanan lebih lezat daripada ubi, singkong atau kue-kue tradisional.
Akibatnya, seperti dalam pertemuan dilakukan sebuah instansi pemerintah baru-baru ini, makanan tradisional tak ada yang menyentuh.
Peserta tetap memilih makanan modern.
Hanya, apabila kampanye itu dilakukan konsisten, mungkin bisa berhasil. Apalagi instansi pemerintah berani menyingkirkan sama sekali makanan modern dari daftar menu, sehingga makanan tradisional itu menjadi satu-satunya pilihan.
Menu tradisional seperti ubi, singkong, talas, kacang, dan pisang rebus akan meningkat “harkat”-nya. Dengan demikian, para petani bakal berlomba-lomba menanam ubi dan buah-buahan sebab permintaan masyarakat semakin besar.
Nah, tugas pemerintah selanjutnya tentu membantu petani meningkatkan produksinya, jika perlu dengan bantuan bibit dan pupuk.
Sebab, tanpa kampanye makanan lokal pun, kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Selama ini sebagian kebutuhan pangan kita juga masih kudu mengimpor, seperti beras, jagung, kedelai, dan ubi jalar.
Mustahil mencapai “kedaulatan pangan seratus persen” akibat lahan semakin terbatas. Karena itu, pemerintah tak perlu pula mengharamkan impor jika cara ini lebih menguntungkan masyarakat.
Tentu dengan catatan, impor dilakukan transparan dan bukan dengan sistem kuota menimbulkan kolusi dan korupsi.
Adapun petani Indonesia bisa berkonsentrasi pada produk benar-benar bisa berkompetisi dengan produk negara lain dari segi harga maupun kualitas.
Dengan cara ini, petani bakal mendapatkan keuntungan lebih besar. Masyarakat pun tetap bisa menikmati produk impor mungkin lebih murah. *
********
Opini/Tempo.co