Garut News ( Kamis, 27/11 – 2014 ).

Iktikad Pemerintah Kabupaten Bogor membersihkan kawasan Puncak, Bogor, dari bangunan vila liar kembali kudu dipertanyakan.
Puluhan vila dibongkar Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor beberapa bulan lalu kini dibangun, dan berdiri lagi.
Membebaskan kawasan Puncak dari vila-vila liar itu sebenarnya bukanlah pekerjaan mustahil. Asalkan Pemerintah Kabupaten Bogor konsisten mengawasi dengan ketat dan memberikan sanksi berat, program itu pasti bisa berjalan.
Apa yang dilakukan pada 2013, saat Pemerintah Kabupaten Bogor membongkar sekitar 230 vila melanggar fungsi tata wilayah, harus diteruskan.
Perlindungan kawasan Puncak sebagai daerah resapan air tak bisa ditawar.
Area resapan air di sana amat dibutuhkan mencegah banjir menyerbu daerah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
Puncak, berada di daerah hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane, masih punya sekitar 8.700 hektare kawasan hutan lindung.
Derasnya pembangunan vila dan perumahan membuat hutan lindung dan daerah resapan berkurang drastis.
Daya tangkap air di kawasan itu makin kritis.
Dampak dari kondisi tersebut, limpasan air akibat curah hujan tinggi di wilayah Puncak dan sekitarnya tak bisa terserap tuntas ke dalam tanah.
Limpasan miliaran kubik air hujan itu langsung meluncur ke Sungai Ciliwung dan Cisadane. Akibatnya, pada musim hujan, debit kedua sungai itu meningkat tajam.
Jakarta pun menjadi korban. Sedikit saja hujan, Jakarta mendapat banjir kiriman yang parah.
Melihat besarnya dampak kerusakan kawasan Puncak ini, pemerintah seharusnya tak tinggal diam. Pengawasan tata ruang di wilayah itu perlu diperketat.
Pemerintah pusat perlu turun tangan. Bagaimanapun, Kabupaten Bogor masuk kawasan khusus bersama daerah di sekitarnya, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Daerah-daerah ini terikat dalam ketentuan penataan ruang diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 54/2008.
Dalam perpres itu diatur gamblang, misalnya, area kudu dipertahankan, seperti hutan lindung, daerah resapan air, dan kawasan dengan kemiringan tertentu.
Karena itu, Pemerintah Kabupaten Bogor harus bertindak tegas terhadap para pemilik vila dan bangunan lain yang ilegal.
Para pemilik vila ilegal seharusnya dijerat dan diseret ke penjara. Mereka jelas melanggar Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Pasal 79 undang-undang ini menyebutkan, siapa pun mengerjakan, menggunakan, dan menduduki kawasan hutan secara ilegal bisa dipenjara 10 tahun, dan didenda Rp5 miliar.
Yang terjadi sekarang, para pelanggar aturan itu dibiarkan bebas melenggang. Bahkan mereka berani membangun kembali vila-vila dibongkar.
Vila-vila baru pun ikut tumbuh. Sia-sialah kerja keras pemerintah Bogor. Bongkar satu vila, tumbuh sepuluh vila.
Puncak harus segera diselamatkan. Bantuan dana dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga sangat diharapkan.
Apabila dibiarkan, bencana ditimbulkan bisa jauh lebih besar dan berkepanjangan. Yang terancam bencana alam bukan hanya penduduk Bogor, tetapi juga kawasan lain, seperti Depok, Bekasi, dan Jakarta.
********
Opini/Tempo.co