Garut News ( Sabtu, 16/08 – 2014 ).

Peringatan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva bahwa saksi memberi keterangan palsu bisa dipenjara tak bisa dianggap sepi.
Saksi memberi keterangan di bawah sumpah.
Sekali berbohong, mereka bisa dijerat hukum.
Faktanya, dari sekian banyak saksi diperiksa, ada saja keterangannya meragukan.
Saksi asal Sidoarjo, Jawa Tengah, misalnya, menerangkan di tempat pemungutan suara tempat dia mencoblos ada 130 pemilih tambahan, atawa 50 persen dari 260 pemilih terdaftar sejak awal.
Padahal, menurut aturan, Komisi Pemilihan Umum hanya menyediakan dua persen surat suara cadangan setiap TPS.
Tak mengherankan, ketika disanggah kuasa hukum salah satu pasangan calon, si saksi segera mengoreksi, jumlah pemilih terdaftar di TPS-nya 493 orang.
Kesaksian tak meyakinkan juga muncul dari saksi asal Jepara.
Dia menyebutkan, ada pembagian mi instan dan uang Rp5.000 agar pemilih mencoblos calon tertentu.
Tetapi, ketika dikejar hakim, dia mengaku hanya mendengar kabar soal itu dari relawan salah satu pasangan calon.
Secara hukum, kesaksian “auditu” atau “hearsay” seperti ini tak bisa diterima sebagai alat bukti sah.
Adapun kesaksian bertolak belakang disampaikan saksi dari Papua.
Seorang saksi dari Kabupaten Dogiyai menyebutkan, di kampungnya pada 9 Juli lalu tak ada pemungutan suara.
Tetapi, anggota Komisi Pemilihan Umum Papua menyatakan di distrik itu ada pemungutan suara.
Mengingat pentingnya agenda pemilihan presiden, juga untuk menjaga wibawa sidang di Mahkamah Konstitusi, saksi diduga memberikan keterangan palsu perlu diusut.
Apabila kepalsuannya terbukti, si saksi dan pihak mengusulkan mereka bisa dikenai sanksi pidana.
Menurut Pasal 242 KUHP, pengucap sumpah dan kesaksian palsu bisa dihukum tujuh tahun penjara.
Adapun pihak mengajukan saksi bisa dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.
Dalam menyeret saksi palsu ke meja hukum, kita punya preseden kuat.
Pada Oktober 2010, Kepolisian RI pernah menahan saksi pasangan calon Bupati Kotawaringin Barat memberikan keterangan palsu dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
Lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi belum lama ini juga menghukum bekas ajudan Gubernur Riau tujuh tahun penjara lantaran memberikan kesaksian palsu di persidangan.
Jika hakim konstitusi jeli dan independen, tak sulit membongkar kesaksian palsu itu.
Hakim tinggal membandingkan kesaksian itu dengan keterangan pihak lain, termasuk penyelenggara dan pengawas pemilu, serta pelbagai dokumen otentik diteken saksi kedua pasangan calon.
Apalagi, dalam pemilihan presiden kali ini, gairah masyarakat dan relawan memantau pencoblosan dan penghitungan suara begitu tinggi.
Mereka merupakan saksi kolektif susah diajak main mata.
Walhasil, berapa pun jumlahnya, kesaksian meragukan semestinya tak memengaruhi hasil pemilihan presiden ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.
Sebaliknya, ibarat pisau bermata dua, apabila kesaksian itu kelak terbukti palsu, bisa mengiris balik si pemegang atawa pengasah pisau.
*******
Opini/Tempo.co