Garut News ( Jum’at, 05/09 – 2014 ).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin semestinya segera membatalkan pembebasan bersyarat Siti Hartati Murdaya.
Keputusan dikeluarkan akhir Agustus itu tak hanya menabrak ketentuan pemerintah, tetapi juga diskriminatif.
Pembebasan terpidana kasus suap lahan perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, itu amat dipaksakan.
Pasal 43A Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 jelas menyebutkan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus khusus, seperti korupsi dan terorisme, bisa diberikan apabila memenuhi empat ketentuan sekaligus.
Salah satunya, menjadi justice collaborator.
Hartati, divonis dua tahun delapan bulan penjara, tak pernah ditetapkan sebagai justice collaborator. Jangankan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum membantu membongkar korupsi, selama persidangan ia malahan selalu menyangkal menyuap Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu.
Padahal ia terbukti menyetujui pemberian uang Rp3 miliar pada Amran untuk pengurusan hak guna usaha lahan perkebunan sawit.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengeluarkan surat pada pertengahan Juli tahun lalu menyebut Hartati sama sekali tak memenuhi syarat sebagai justice collaborator.
Dengan dasar ini saja, sebenarnya cukup bagi Kementerian bisa mengurungkan pemberian bebas bersyarat.
Apalagi KPK kemudian menolak memberi rekomendasi pembebasan bersyarat pada 12 Agustus lalu.
Hartati memang menjalani dua pertiga masa hukumannya. Ditahan sejak September 2012, ia menghuni penjara selama 22 bulan atawa dua pertiga dari masa pidananya.
Tetapi syarat masa hukuman ini tak bisa berdiri sendiri. Kementerian Hukum tak bisa membebaskan Hartati hanya lantaran ia dianggap berkelakuan baik, membayar denda, dan memenuhi dua pertiga masa hukuman.
Keempat syarat tercantum dalam peraturan pemerintah itu bersifat kumulatif. Alangkah aneh jika kemudian Menteri Amir justru menyatakan pembebasan bersyarat itu semestinya tak kumulatif.
Dengan memakai logika Amir, apakah mungkin ia akan membebaskan narapidana mau menjadi justice collaborator, berkelakuan baik, tapi baru menjalani hukuman beberapa bulan saja?
Logika timpang ini disambung dengan argumen lain terkesan semata demi mengesahkan keputusan bebas bersyarat.
Menggunakan pasal 43B, Kementerian berdalih memiliki kewenangan memutuskan pembebasan bersyarat apabila penegak hukum terkait tak merespons surat permintaan rekomendasi dalam 12 hari.
Mereka menyatakan menyurati KPK pada akhir Juni tetapi baru dibalas Agustus. Argumen ini tak masuk akal.
Bagaimana mungkin soal waktu tak seberapa itu bisa otomatis menggugurkan empat syarat utama?
Seluruh pembelaan itu justru menegaskan ada sesuatu tak beres di balik pembebasan Hartati.
Keputusan ini juga diskriminatif terhadap terpidana kasus korupsi lain jauh lebih kooperatif dibanding Hartati tetapi tak mendapat keringanan hukuman.
********
Opini/Tempo.co