Jangan Sandera Dana Desa

0
50 views

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat.

Garut News ( Kamis, 17/09 – 2015 ).

airyaokePembiaran terhadap tindakan bupati “menyandera” dana desa sungguh disesalkan. Kementerian Dalam Negeri seharusnya segera menjatuhkan sanksi kepada para bupati bandel yang menahan dana desa.

Mereka mencederai amanat rakyat, hanya mencairkan bantuan apabila kepala desa atau lurah mendukung pencalonan bupati inkumben dalam pilkada.

Tindakan bodoh itulah yang kini menjadi salah satu penyebab mandeknya penyaluran lebih dari 60 persen dana desa. Di antara 74 ribu desa, baru 40 ribu menerimanya. Macetnya penyaluran dana ini bisa berbuntut panjang: pembangunan terhenti, roda ekonomi juga tersandung. Dampaknya, rakyat makin tercekik krisis.

Ide memberikan dana desa sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk memotong mata rantai birokrasi. Desa bisa langsung membuat program pembangunan nyata yang meningkatkan kesejahteraan warganya, tanpa melewati keruwetan birokrasi di kecamatan dan kabupaten.

Pemerintah kabupaten sejatinya hanya menjadi kanal penyaluran, bukan penentu dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat. Tahun ini, sebagai pembuka, pemerintah menyalurkan dana Rp20,77 triliun ke lebih dari 74 ribu desa.

Tahun depan, dana itu meningkat menjadi hampir Rp47 triliun. Jika bisa bergulir, dana ini bisa menggerakkan ekonomi pedesaan.

Masalahnya–seperti pelbagai dana lain-ia rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Hal inilah yang dikeluhkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dua hari lalu. Alih-alih mengumbar keluh-kesah ke media, Menteri Dalam Negeri seharusnya cekatan menjatuhkan sanksi berat kepada para bupati itu.

Penyimpangan pengucuran dana bantuan seharusnya sudah diprediksi Kementerian Dalam Negeri. Soalnya, penggelontoran dana desa dilakukan menjelang kampanye pemilihan kepala daerah serentak, September-November tahun ini.

Sudah jamak pengucuran dana seperti ini selalu dijadikan alat politik para penguasa daerah. Pembagian bantuan sosial kepada kelompok-kelompok pendukung bupati atau gubernur cerita lama seharusnya dijadikan pelajaran.

Penyimpangan sekarang terjadi, bagaimanapun, merupakan kesalahan Kementerian Dalam Negeri. Mereka semestinya membuat sistem agar pemberian dana ini tak perlu melalui pemerintah kabupaten. Dana puskesmas, contohnya, ditransfer langsung kepada kepala puskesmas di kecamatan tanpa melalui kepala dinas kabupaten/kota.

Yang terjadi sekarang, bupati seperti raja. Merekalah yang berhak mencairkan dana. Padahal sejatinya mereka hanyalah “kurir”, bukan pengelola dana, sehingga tak berhak menentukan apakah dana tersebut perlu dicairkan atau tidak.

Mereka hanya dapat menahan uang itu jika memang ada alasan kuat, seperti persyaratan belum lengkap. Sejumlah desa, misalnya, belum memilih pendamping desa yang nantinya akan mengontrol penggunaan dana tersebut. Ada juga desa belum menyusun anggaran.

Upaya membereskan dana bantuan desa ini bukan tugas ringan. Tetapi Menteri Tjahjo seharusnya menjawab harapan publik dengan tindakan tegas. Rakyat sudah menunggu roda ekonomi bergulir lagi dengan bantuan dana desa.

********

Opini Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here