Garut News, ( Selasa, 24/09 ).

Selayaknya KPI memberikan teguran tertulis pada Televisi Republik Indonesia.
Sebagai televisi publik, TVRI memang tak sepantasnya menyiarkan konvensi Partai Demokrat lebih dari dua jam pada Ahad pekan lalu.
Stasiun televisi dibiayai anggaran negara itu terang-terangan melanggar asas netralitas, dan independensi.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran jelas menyebutkan lembaga penyiaran publik seharusnya independen, netral, tak komersial, dan berfungsi memberikan layanan kepentingan masyarakat.
Selain memberikan perlakuan istimewa dengan memberikan jam siar sangat panjang, siaran tunda tersebut diduga mengandung motif politik petinggi TVRI.
Namun KPI tak boleh berhenti hanya pada TVRI.
Sejumlah stasiun televisi swasta juga melakukan pelanggaran serupa, menyiarkan program atawa iklan partai politik seperti tanpa batas.
Waktu digunakan kerap sangat panjang, dan berulang kali.
Meski tak didanai anggaran negara, stasiun televisi swasta itu menggunakan ranah publik, frekuensi siaran.
Data Komisi Penyiaran menunjukkan, sepanjang Oktober-November 2012, Metro TV telah 43 kali menyiarkan iklan Partai NasDem.
Komisi juga menemukan sebelas pemberitaan tentang Hanura di RCTI, Global TV, dan MNC TV.
Sedangkan TV One sepuluh kali memberitakan Aburizal Bakrie.
Ketua Partai Golkar itu juga muncul dalam iklan disiarkan 143 kali sepanjang April 2013.
Hal itu dimungkinkan lantaran banyak stasiun televisi dimiliki pengusaha juga pemimpin partai.
Aburizal menguasai ANTV dan TV One.
Ketua Umum NasDem Surya Paloh memiliki Metro TV.
Calon wakil presiden Partai Hanura, Hary Tanoesoedibjo, mempunyai tiga stasiun TV sekaligus, RCTI, MNC TV, dan Global TV.
Dalam laporan akhir 2012, KPI Pusat menerima 43.470 pengaduan publik tentang isi siaran tahun lalu.
Jumlah itu, terbesar sejak KPI berdiri 2002.
Tahun ini, diperkirakan jumlahnya bakal lebih besar.
Tahun lalu, Komisi juga menjatuhkan 107 sanksi, nyaris naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Celakanya, sanksi KPI itu ternyata hanya dianggap angin lalu oleh para politikus pemilik stasiun TV ini.
Mereka tak terlihat berupaya mengurangi frekuensi siaran atawa iklan politik mereka.
Sangat disayangkan, KPI bak macan ompong lantaran memang tak dibekali kewenangan menghukum para politikus mengangkangi stasiun televisinya kepentingan pribadi.
Mengharapkan peran KPI memang seperti menggantang asap.
Kewenangan KPI diamputasi ketika industriawan televisi memenangi perang di Mahkamah Konstitusi pada 2008.
Padahal, awalnya, kita berharap KPI bisa memiliki kekuatan, setidaknya seperti dimiliki Dewan Pers.
Dalam situasi seperti itu, pemerintah atawa DPR semestinya bisa mengajukan revisi atas Rancangan UU Penyiaran demi kepentingan publik.
Partai Demokrat, dan partai-partai lain tak punya stasiun televisi bisa menggagas kemungkinan mengajukan revisi tersebut.
***** Opini/Tempo.co