Ilustrator : Muhammad Erwin Ramadhan.
Garut News ( Senin, 12/10 – 2015 ).
Para politikus di Senayan semakin memertontonkan keberpihakan mereka kepada para koruptor. Selain berupaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional yang memungkinkan koruptor terbebas dari hukuman pidana.
Padahal korupsi jelas-jelas tergolong kejahatan luar biasa. Pelaku kejahatan ini semestinya dihukum berat, dirampas seluruh harta hasil korupsinya, bukannya malah mendapat pengampunan.
RUU itu pada hakikatnya lebih banyak berkaitan dengan pengampunan pajak atau tax amnesty. RUU ini mengatur pengampunan dan pemutihan pajak masa lalu. Dengan undang-undang ini, triliunan rupiah uang para pengemplang pajak yang disembunyikan di luar negeri diharapkan masuk kembali ke sistem perbankan Indonesia.
Singapura adalah salah satu tempat penyimpanan uang favorit warga negara Indonesia. Nilainya hingga Rp3.000-4.000 triliun. Apabila RUU Pengampunan Nasional ini diberlakukan, diperkirakan dana yang bisa dipulangkan mencapai Rp 700 triliun.
Masalahnya, dalam RUU itu terselip satu pasal yang dapat menguntungkan para koruptor, yaitu Pasal 10.
Pasal itu menyebutkan, selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan, orang pribadi atau badan memeroleh pengampunan tindak pidana terkait dengan perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan manusia.
Pasal 10 itu tak mengecualikan perolehan kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi. Artinya, ada celah bagi para koruptor untuk memeroleh pengampunan pidana atas hasil kejahatan mereka, asalkan mau menaruh uang panas itu kembali ke Indonesia. Pasal ini jelas sangat bertentangan dengan semangat anti-pencucian uang dan korupsi.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadap para pelakunya. Itulah alasannya Pasal 10 RUU Pengampunan Nasional harus direvisi atau malah dihapuskan saja.
Celakanya, RUU Pengampunan Nasional ini sudah dibahas dalam rapat pleno Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sejak awal pekan lalu. Seandainya Pasal 10 itu lolos, adanya kemungkinan pelaku korupsi melenggang bebas dari jerat hukum pidana bisa terjadi.
Mereka bisa bebas, bahkan kalaupun vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Pembahasan RUU Pengampunan Nasional ini dimasukkan berbarengan dengan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memancing banyak perhatian. Walhasil, RUU Pengampunan luput dari pantauan publik. Padahal RUU ini sama berbahayanya bagi upaya pemberantasan korupsi.
DPR semestinya membatalkan Pasal 10 draf RUU tersebut. Jangan demi alasan menarik uang hasil korupsi, pelakunya diberi imbalan pembebasan. Membebaskan para koruptor, apa pun alasannya, bertentangan dengan prinsip keadilan.
Lagi pula, tak ada jaminan, kalaupun diberi pembebasan, mereka tak akan mengulangi kejahatannya yang sangat merusak itu.
********
Opini Tempo.co