Garut News ( Rabu, 11/02 – 2015 ).
Banjir di Jakarta akan selalu berulang apabila pemerintah belum bisa mengatasi penyebab utama bencana ini.
Tak cukup hanya mengantisipasi banjir kiriman dari Bogor, pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga perlu mencegah bahaya kenaikan air laut.
Genangan air di sebagian besar wilayah Jakarta pada Senin lalu bukanlah kiriman dari Bogor melalui Sungai Ciliwung.
Banjir lebih banyak disebabkan oleh hujan yang turun di wilayah Ibu Kota, air laut yang sedang naik, dan pompa air di Waduk Pluit yang mati karena PLN memutus sambungan listrik ke wilayah ini.
Curah hujan tercatat 170 mililiter per detik pada hari itu. Tetapi curah hujan ini belum seberapa dibanding pada 2007, yang mencapai 678 mm per detik.
Curah hujan di Jakarta pada puncak musim hujan umumnya berkisar 300 mm per detik. Jika dengan curah hujan sedang saja Jakarta sudah banjir, berarti kota ini belum siap menghadapi curah hujan yang lebih dahsyat.
Jakarta harus lebih serius dan terencana dalam mengatasi banjir lantaran masalah ini sudah mirip penyakit bawaan.
Sejak zaman Jan Pieterszoon Coen, kota ini sering terendam air. VOC membangun kanal besar untuk mengendalikan banjir.
Dan, selama penjajahan Belanda, tak ada banjir besar terjadi. Namun, pada masa 1970-an, banjir besar kembali menjadi langganan kota ini.
Bahkan pada Januari 1979, misalnya, banjir menelan korban jiwa hingga 20 orang.
Dataran Jakarta yang lebih rendah daripada permukaan air laut membuat kota ini sangat bergantung pada ratusan pompa air untuk menghadang banjir.
Apalagi, daerah-daerah yang dulu menjadi tempat resapan air dan rawa-rawa, seperti di Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk, sudah berubah menjadi kawasan permukiman dan mal-mal besar.
Gedung dan perumahan semakin banyak, sedangkan daerah terbuka hijau yang sanggup menyerap air semakin berkurang.
Mengeruk sungai dan kanal hanya bermanfaat untuk jangka pendek dan banjir skala kecil. Untuk menangani banjir besar, pemerintah memerlukan langkah terobosan yang juga besar.
Rencana Jakarta untuk membantu pembangunan waduk di Bogor patut didukung, tapi proyek ini membutuhkan waktu lama dan hujan tak akan menunggu waduk itu jadi.
Itulah sebabnya, upaya lain perlu dilakukan, seperti memercepat pembuatan terowongan Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama juga bisa bekerja sama dengan daerah tetangga untuk mengoptimalkan fungsi situ di sekitar Jakarta.
Ada 204 waduk dan situ di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Tapi 65 persen dari “ember besar” ini rusak, bahkan ada yang mengering.
Penampung air itu telantar karena pemerintah daerah tak memiliki dana yang cukup untuk merawatnya.
Gagasan pembangunan “tembok besar” juga perlu dikaji serius karena ancaman rob tak kalah besar dibanding banjir kiriman.
Tembok ini bisa membentengi kota dari limpasan air laut. Semua upaya itu perlu direncanakan sungguh-sungguh dan tak hanya didiskusikan saat musim banjir, lalu menguap lagi.
********
Opini Tempo.co