Garut News ( Sabtu, 27/09 – 2014 ).

Menghabisi Islamic State in Iraq and al-Sham (ISIS) tidaklah mudah. Tak akan cukup dengan pengerahan kekuatan udara besar-besaran.
Bahkan, kalaupun kekuatan udara Amerika Serikat bersama lima negara Arab dan Teluk-Yordania, Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Qatar-bersama-sama mengebom kantong-kantong kekuatan mereka di daerah utara Suriah, upaya ini akan sia-sia.
Siapa pun tahu, di mana saja kekuatan darat merupakan kunci penentu di medan perang.

Menghabisi ISIS juga tidak cukup dengan menghimpun dukungan internasional seperti yang dilakukan Presiden Barack Obama dalam Sidang Umum PBB di New York pekan lalu.
Dukungan internasional ini bisa dipandang sebagai bagian dari kebijakan burden sharing dalam bentuknya yang lebih diplomatis: menyediakan payung legitimasi untuk operasi militer.
Presiden Obama tentu telah memetik pelajaran berharga dari kehadiran pasukan Amerika Serikat di Afganistan dan Irak.
Sepeninggal pasukan Amerika, Afganistan ternyata tidak terbebas dari ancaman fundamentalisme Taliban dan konflik panjang antar-kelompok yang bersaing.
Bahkan yang terjadi di Irak lebih buruk. Sepeninggal pasukan Amerika, bagian selatan Irak menjelma menjadi satu habitat, tempat pijakan kelompok ISIS.
Gerakan garis keras, intoleran, dan sangat brutal ini berpijak pada ideologi transnasional yang tak mudah ditaklukkan dengan kekuatan militer.
Setelah memproklamasikan kekhalifahannya di sepanjang wilayah selatan Irak dan utara Suriah, kelompok ini dengan cepat menjadi “musuh bersama” kalangan mainstream, sekaligus menjelma menjadi solidarity maker di antara kelompok-kelompok garis keras.
ISIS, kelompok sempalan Al-Qaidah, mengadopsi ideologi transnasional.
Meninggalkan kearabannya, para aktivisnya berbicara dalam bahasa Inggris, Prancis, bahkan salah satunya-disebut bernama Abu Muhammad al-Indunisi-berkampanye dalam bahasa Indonesia.
Pesatnya popularitas ISIS memang mencengangkan. Gagasan profetik mereka membangkitkan kembali kejayaan Islam pada masa lalu (glorious past) agar kembali bangkit, memukau banyak pengikut.
Bagi kelompok ini, kolonialisme dan tata ekonomi dunia yang tidak adil adalah dua hal yang memporak-porandakan negara-negara Islam dan harus dilawan.
Harus diakui, adegan sadistis penggorokan leher wartawan asing dan eksekusi warga Syiah yang disebarluaskan dalam rekaman video kelompok ini telah menggedor rasa kemanusiaan kita.
Kebrutalan kelompok ini harus dihentikan. ISIS telah menjadi musuh bersama dan mungkin tidak lama lagi mereka akan berhadapan dengan aliansi pasukan internasional yang lebih besar dan kuat.
Namun menghabisi ISIS tanpa mencabut akar persoalan utamanya sama saja dengan minum obat sakit kepala.
Obat hanya meredakan sakit, tidak menyembuhkannya. Karena tak mendapat terapi yang tepat, gejala yang sama akan muncul lagi.
Menghabisi ISIS hanya bisa dilakukan bila akar persoalannya, yaitu keterpurukan, keterhinaan, serta kemiskinan dan ketidakadilan global, diatasi.
Inilah sesungguhnya tugas masyarakat internasional. Sebab, hanya menggempur ISIS tak akan menghentikan munculnya kelompok sejenis.
Opini/Tempo.co