Garut News ( Sabtu, 11/01 – 2014 ).

Inilah, mozaik wajah kemiskinan buruh tani di Kabupaten Garut, Jawa Barat, nyaris setiap hari mereka bergelut dengan lumpur, peluh bahkan derasnya keringat bercucuran.
Namun para pekerja keras meski dijalani hingga menjelang usia senja ini, nyaris sebagian besar di antara mereka bernasib tak berbanding lurus dengan kualitas kesejahteraannya.
Sosoknya pun, sangat memiriskan hati lantaran didera kemiskinan, juga nyaris tanpa sentuhan sensitivitas pemangku pemerintahan membantunya.

Padahal, sektor pertanian di Kabupaten Garut hingga kini masih menjadi andalan paling potensial.
Bahkan produktivitas berasnya, kerap disebut-sebut sering mengalami surplus.
“Kemanakah, peran, fungsi, dan tanggungjawab institusi teknis terkait, sebagai “duty bearer” atawa pemangku kewajiban…. ?”
Menyusul, sektor pertanian di Indonesia sekarang, juga amburadul, semakin bergantung pada import pada beberapa tahun terakhir.
Sehingga, target swasembada pangan, kedelai, beras, jagung, dan daging, nampaknya sulit dicapai pada 2014 ini.

Produksi daging hanya sekitar 443 ribu ton setiap tahun, jauh dari kebutuhan rakyat mencapai 580 ribu ton.
Padahal, subsidi pupuk serta benih dianggarkan sekitar Rp20 triliun setiap tahun, terindikasi kuat lebih banyak dinikmati para pengusaha, dan pejabat.
Semestinya subsidi diberikan langsung pada petani, misalnya berbentuk “voucher”.
Transformasi peretaniannya, tak terjadi.
Pertanian di negeri Bernama Indonesia, hingga kini masih tradisional.

Padahal, Undang-Undang Nomnor. 12/2012 Tentang Pangan, jelas mengatur soal kemandirian, kedaulatan, dan ketahanan pangan.
Tak mungkin lah, melakukan swasembada kedelai, jagung, sekaligus beras bersamaan.
Lantaran luas lahan potensial pertanian, termasuk di Kabupaten Garut, Jawa Barat, semakin tergerus komplek perumahan.
Negara kita, juga sulit bertarung dengan negara lain.
Apabila tak terdapat komoditas diunggulkan.

Saratnya beban kehidupan, seberat kerja kerasnya menyusuri lintasan Ruas Badan jalan Copong, Garut, Sabtu (11/01-2014), dijalani buruh tani membawa hasil panen padi milik juragan.
Juga bernasib mandi keringat, peluh serta letih diterpa panasnya sinar matahari.
Sehingga meski Produksi Beras di Kabupaten Garut, kerap menglami surplus.
Tetapi sejak digulirkannya program “Raskin”.
Beras rumah tangga miskin itu, masih dikonsumsi.

Malahan pada 2014, alokasinya tak berubah dari pagu 2013, atawa 32.803 ton diperuntukan 182.239 “rumah tangga miskin penerima manfaat” (RTS-PM).
Sehingga surplus produksi beras tersebut, tak dinikmati penduduk miskin, termasuk sekalipun buruh taninya.
Ironis, memang.
*****
Esay : Pelbagai Sumber
Foto : John Doddy Hidayat