Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc
Garut News ( Jum’at, 27/03 – 2015 ).

Sultan Harun al-Rasyid tak habis pikir kenapa Abu Nawas meminta dicambuk sebanyak 100 kali sebagai hadiah. Apakah Abu Nawas yang terkenal sangat cerdik ini sudah kehilangan akal sehat sehingga meminta hadiah yang tidak masuk akal?
Akhirnya, dengan berat hati Sultan mengabulkan permintaan Abu Nawas. Ketika algojo datang untuk mencambuknya, Abu Nawas berkata kepada Sultan bahwa 50 hadiah cambuk diberikan untuk penjaga gerbang istana yang membolehkan Abu Nawas masuk asalkan mau membagi setengah dari hadiah yang akan diterimanya.
Sedangkan 50 hadiah cambuk lainnya diserahkan kepada penjaga pintu ruangan raja yang membolehkan Abu Nawas masuk asalkan bersedia membagi setengah dari hadiah yang diterima dari raja.
Cerita di atas adalah potongan dari kisah Abu Nawas yang diperas oleh para penjaga istana yang mengetahui bahwa dia menghadap Sultan Harun al-Rasyid untuk menerima hadiah. Sindiran pemerasan, suap, dan korupsi yang dilakukan pejabat negara banyak sekali ditemukan dalam kisah-kisah jenaka Abu Nawas.
Belajar dari kisah Abu Nawas, untuk memberantas korupsi tidak cukup hanya bermodal keberanian, tapi juga memerlukan cara yang cerdik untuk membuat jera koruptor.

Seperti kata sebuah pantun, “Naik motor ke Majalengka, haus terik sangat terasa. Koruptor banyak akalnya, harus cerdik menghadapinya.”
Kecerdikan Abu Nawas agar seorang pemimpin korup mendapat hukuman terlihat pada kisah rakyat melaporkan gubernur yang diduga korupsi. Sultan Harun al-Rasyid menanggapi, dengan menyatakan hal itu tidak mungkin karena dia mengenal gubernur itu sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana.
Abu Nawas pun mencari akal agar gubernur tersebut dimutasi ke tempat lain dengan berkata, “Baginda yang mulia, rasanya tidak adil kalau gubernur yang adil dan bijaksana tersebut hanya kami yang menikmati. Sudah saatnya rakyat di daerah miskin ikut merasakan enaknya dipimpin beliau.”
Akhirnya, sang gubernur pun dimutasi….
Humor yang berisi sindiran terhadap perilaku korupsi ini sudah ada sejak dulu. Di antaranya yang mashur adalah yang dikisahkan melalui dua tokoh sufi jenaka, Abu Nawas dan Nasruddin Hoja.
Di era sekarang, banyak sekali humor tentang korupsi yang kita temukan di Internet. Di antaranya yang menurut saya sangat lucu adalah ketika ada seorang pejabat menolak diberi mobil mewah oleh seorang pengusaha dengan alasan itu masuk kategori gratifikasi.
Untuk mencegah hal itu masuk kategori gratifikasi, pengusaha meminta sang pejabat membeli mobil mewah tersebut seharga Rp 50 ribu. Sang pejabat senang dengan tawaran tersebut, lalu menyerahkan uang Rp 100 ribu sambil berkata, “Kalau gitu, saya beli dua ya.”
Memberantas korupsi memang tidak bisa melalui humor. Namun humor bisa berperan untuk mendorong pemberantasan korupsi. Dalam memberantas korupsi, seharusnya penegak hukum bisa cerdik seperti Abu Nawas.
Sekarang yang terjadi malah sebaliknya, koruptor yang semakin cerdik. Buktinya, mereka bisa membuat para penegak hukum saling melemahkan.
Sudah sepatutnya penegak hukum terdepan dalam memberantas korupsi, bukan menjadi bagian dari lingkaran korupsi seperti yang tergambar dalam humor lawas yang memelesetkan KUHP menjadi “kasih uang, habis perkara”. *
*******
Kolom/Artikel Tempo.co